Tanpa disiplin saintifik dan koordinasi kelembagaan, kekayaan laut timur hanya akan berpindah ke buku kerugian sosial (Mongabay, 2022).
Di darat, hutan hujan Papua adalah benteng terakhir tutupan hutan primer Indonesia. Analisis citra satelit 2001–2019 menunjukkan laju deforestasi meningkat signifikan seiring pembangunan jalan Trans Papua dan ekspansi perkebunan besar, terutama kelapa sawit.
Proyeksi model memperingatkan bahwa jika izin perkebunan dan konsesi terus dikeluarkan tanpa kendali, fakta akan kehilangan hutan akan melonjak dalam dekade mendatang.
Laporan internasional mencatat, ketika laju kehilangan hutan di Sumatera dan Kalimantan menurun sejak 2016, justru tren ekspansi bergeser ke Papua.
Baca juga: Ketimpangan Menggerus Nasionalisme
Data ini memberi sinyal bahwa kebijakan tata ruang dan audit perizinan di Papua harus diperketat agar hutan tidak menjadi korban proyek jangka pendek (Mongabay, 2021).
Semua fakta ekologis ini berdampingan dengan kompleksitas manusia. Papua dihuni lebih dari 250 kelompok etnis dengan 300 bahasa lokal yang masih terjaga dari dulu hingga kini.
Penelitian demografi dan bahasa menunjukkan Papua adalah wilayah paling majemuk secara etnis di Indonesia.
Kajian linguistik terhadap bahasa kecil seperti Yonggom Wambon menegaskan bahwa setiap bahasa membawa pengetahuan ekologis, sejarah lisan, dan kosmologi unik. Hilangnya satu bahasa berarti hilangnya satu cara pandang terhadap dunia.
Fakta ini adalah hasil riset empirik, bukan retorika budaya belaka. Dengan ratusan bahasa yang dimiliki, Papua menjadi pusat penelitian linguistik dunia.
Artinya, kebijakan pembangunan Papua harus memperhitungkan keragaman bahasa dan budaya dalam desain pendidikan, kesehatan, dan layanan publik (kemendikdasmen.go.id, 2022).
Namun indikator sosial-ekonomi Papua memperlihatkan paradoks nyata. Data BPS Papua (Maret 2025) mencatat angka kemiskinan 19 persen, jauh di atas rata-rata nasional di bawah 10 persen.
BPS Papua Selatan bahkan melaporkan hampir 20 persen penduduk miskin pada periode sama. Indeks Pembangunan Manusia Papua 2024 juga masih berada di papan bawah.
Publikasi resmi BPS menegaskan ketertinggalan ini melalui indikator inflasi, pertumbuhan, ketimpangan, dan tenaga kerja.
Artinya, meski memiliki cadangan mineral, biodiversitas, dan potensi laut, ternyata kesejahteraan rakyat Papua tidak beranjak naik.
Riset panel data 2021–2023 menyebut jumlah penduduk miskin sebagai variabel paling signifikan yang menjelaskan kondisi sosial ekonomi di Papua. Dengan kata lain, akar masalah Papua adalah kemiskinan struktural, bukan sekadar minim infrastruktur.
Persoalan pendidikan memperlihatkan gambaran lebih rinci. UNICEF melaporkan tingginya ketidakhadiran guru di sekolah-sekolah Papua, yang berdampak pada rendahnya literasi dan numerasi anak-anak sejak dini.
Kesenjangan makin parah karena keterbatasan listrik dan internet.
Program digitalisasi pendidikan tanpa perbaikan masalah dasar hanya akan memperlebar jurang. Karena itu, kebijakan pendidikan di Papua tidak bisa disamakan dengan daerah lain.
Diperlukan skema afirmatif untuk rekrutmen guru lokal, pelatihan transisi literasi bahasa ibu ke bahasa Indonesia, dan perbaikan infrastruktur dasar sekolah.
Dimensi sejarah Papua juga terikat pada data politik yang tidak bisa dihapus.
Sejak sidang BPUPKI 1945, Papua sudah diperdebatkan: sebagian tokoh bersikeras memasukkannya ke dalam Indonesia, sebagian lain meragukannya karena dianggap berbeda secara geografis dan etnografis (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, 1998).
Baca juga: Rent-Seeking Behaviour: Ketika Negara Sibuk Memungut, Lupa Menumbuhkan
Perdebatan ini berlanjut pada Konferensi Meja Bundar 1949, ketika Belanda menolak menyerahkan Papua meski mengakui kedaulatan Indonesia atas bekas Hindia Belanda.
Konflik baru berakhir lewat Perjanjian New York 1962, yang menyerahkan Papua kepada UNTEA sebelum masuk ke Indonesia pada 1963.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya