Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Cuma Rusak Lingkungan, Panas Ekstrem Berdampak pada Kesehatan Emosi Kita

Kompas.com, 26 Agustus 2025, 17:04 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perubahan iklim berdampak pada meningkatnya suhu planet yang akhirnya berimbas seluruh kehidupan di Bumi.

Namun dampak panas karena perubahan iklim tak berhenti pada lingkungan saja, sebuah penelitian menemukan panas ekstrem dapat memengaruhi suasana hati kita.

Dan kini, ilmuwan dapat mengukur perubahan emosi ini secara ilmiah.

Melansir Earth, Minggu (24/8/2025) sebuah studi besar terhadap data media sosial menunjukkan bahwa orang-orang menjadi jauh lebih mudah marah saat berada dalam cuaca yang sangat panas.

Penelitian ini menyiratkan bahwa kenaikan suhu bisa secara langsung memengaruhi kesehatan emosional jutaan orang di seluruh dunia.

Para peneliti mengulas 1,2 miliar unggahan di media sosial dari 157 negara yang diunggah sepanjang tahun 2019.

Baca juga: Rekor Iklim 2024, dari Suhu Panas Ekstrem hingga Amukan Badai

Mereka menggunakan program komputer canggih untuk menganalisis unggahan yang ditulis dalam 65 bahasa berbeda, lalu memberikan skor pada setiap unggahan berdasarkan seberapa positif atau negatif isinya.

Tim peneliti lantas mencocokkan skor suasana hati ini dengan data cuaca lokal untuk melihat bagaimana suhu memengaruhi apa yang dikatakan orang secara daring.

Hasilnya jelas dan konsisten di seluruh dunia. Ketika suhu naik sekitar 35 derajat Celsius, unggahan orang-orang menjadi sekitar 25 persen lebih negatif di negara-negara berpenghasilan rendah.

Sementara itu, di negara-negara yang lebih kaya, tingkat negatifnya meningkat sekitar 8 persen.

"Data media sosial memberikan kita kesempatan yang belum pernah ada sebelumnya untuk melihat emosi manusia di berbagai budaya dan benua," kata Jianghao Wang dari Chinese Academy of Sciences (CAS).

"Termasuk memungkinkan kami mengukur dampak emosional dari perubahan iklim dalam skala yang tidak bisa dicapai oleh survei tradisional. Hal ini memberikan kami wawasan real-time tentang bagaimana suhu memengaruhi sentimen manusia di seluruh dunia," katanya.

Para peneliti menggunakan data dari Bank Dunia untuk memisahkan negara-negara berdasarkan tingkat pendapatan, dengan batas ditetapkan pada 13.845 dolar AS per orang per tahun.

Negara-negara yang pendapatannya di bawah ambang batas ini menunjukkan respons emosional terhadap panas yang lebih kuat dibandingkan negara-negara yang lebih kaya.

Hal ini masuk akal mengingat negara-negara yang lebih kaya memiliki lebih banyak pendingin ruangan (AC), fasilitas kesehatan yang lebih baik, dan infrastruktur yang lebih kuat untuk menghadapi cuaca ekstrem.

Siqi Zheng dari MIT, yang memimpin studi ini menambahkan bahwa studi ini akhirnya mengungkapkan kenaikan suhu tidak hanya mengancam kesehatan fisik atau produktivitas ekonomi tetapi juga memengaruhi perasaan orang-orang setiap hari di seluruh dunia.

Tak berhenti sampai sini, peneliti kemudian menggunakan model iklim untuk memprediksi bagaimana panas ekstrem dapat memengaruhi emosi manusia pada 2100.

Temuannya cukup mengejutkan. Bahkan dengan asumsi manusia akan beradaptasi dengan suhu yang lebih tinggi seiring waktu, peneliti memproyeksikan bahwa kesejahteraan emosional akan memburuk sebesar 2,3 persen hanya karena panas pada akhir abad ini.

Baca juga: Panas Ekstrem Membunuh Burung Tropis, Bikin Populasinya Anjlok

"Sekarang jelas, dengan studi kami yang sedang berlangsung ini, yang melengkapi temuan dari studi sebelumnya, bahwa cuaca mengubah sentimen dalam skala global," kata Nick Obradovich dari Sustainable Urbanization Lab dan Laureate Institute for Brain Research di Tulsa.

Seiring perubahan cuaca dan iklim, membantu individu menjadi lebih tangguh terhadap guncangan kondisi emosional mereka pun akan menjadi komponen penting dari adaptasi masyarakat secara keseluruhan.

Kendati demikian studi ini masih masih memiliki keterbatasan karena pengguna media sosial tidak sepenuhnya mewakili semua orang. Anak-anak dan lansia menggunakan media sosial lebih sedikit dibandingkan kelompok usia lainnya.

Ironisnya, mereka seringkali merupakan orang-orang yang paling rentan terhadap panas ekstrem, yang berarti dampak emosional nyata dari cuaca panas mungkin bahkan lebih buruk daripada yang diungkap dalam studi ini.

“Kami berharap studi ini membantu para peneliti, pembuat kebijakan, dan masyarakat lebih siap menghadapi dunia yang semakin panas,” tambah Zheng.

Penelitian ini pun membuka cara berpikir baru mengenai perubahan iklim yang sebagian besar berfokus pada dampak kesehatan fisik, kerusakan ekonomi atau kerusakan lingkungan melainkan juga potensi krisis kesehatan mental yang parah.

Baca juga: Bahaya di Balik Plastik yang Jadi Andalan, Ada Risiko Kanker hingga Fertilitas

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
LSM/Figur
Waspada Hujan Lebat hingga 22 Desember, BMKG Pantau 3 Siklon Tropis
Waspada Hujan Lebat hingga 22 Desember, BMKG Pantau 3 Siklon Tropis
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau