KOMPAS.com - Perubahan iklim berdampak pada meningkatnya suhu planet yang akhirnya berimbas seluruh kehidupan di Bumi.
Namun dampak panas karena perubahan iklim tak berhenti pada lingkungan saja, sebuah penelitian menemukan panas ekstrem dapat memengaruhi suasana hati kita.
Dan kini, ilmuwan dapat mengukur perubahan emosi ini secara ilmiah.
Melansir Earth, Minggu (24/8/2025) sebuah studi besar terhadap data media sosial menunjukkan bahwa orang-orang menjadi jauh lebih mudah marah saat berada dalam cuaca yang sangat panas.
Penelitian ini menyiratkan bahwa kenaikan suhu bisa secara langsung memengaruhi kesehatan emosional jutaan orang di seluruh dunia.
Para peneliti mengulas 1,2 miliar unggahan di media sosial dari 157 negara yang diunggah sepanjang tahun 2019.
Baca juga: Rekor Iklim 2024, dari Suhu Panas Ekstrem hingga Amukan Badai
Mereka menggunakan program komputer canggih untuk menganalisis unggahan yang ditulis dalam 65 bahasa berbeda, lalu memberikan skor pada setiap unggahan berdasarkan seberapa positif atau negatif isinya.
Tim peneliti lantas mencocokkan skor suasana hati ini dengan data cuaca lokal untuk melihat bagaimana suhu memengaruhi apa yang dikatakan orang secara daring.
Hasilnya jelas dan konsisten di seluruh dunia. Ketika suhu naik sekitar 35 derajat Celsius, unggahan orang-orang menjadi sekitar 25 persen lebih negatif di negara-negara berpenghasilan rendah.
Sementara itu, di negara-negara yang lebih kaya, tingkat negatifnya meningkat sekitar 8 persen.
"Data media sosial memberikan kita kesempatan yang belum pernah ada sebelumnya untuk melihat emosi manusia di berbagai budaya dan benua," kata Jianghao Wang dari Chinese Academy of Sciences (CAS).
"Termasuk memungkinkan kami mengukur dampak emosional dari perubahan iklim dalam skala yang tidak bisa dicapai oleh survei tradisional. Hal ini memberikan kami wawasan real-time tentang bagaimana suhu memengaruhi sentimen manusia di seluruh dunia," katanya.
Para peneliti menggunakan data dari Bank Dunia untuk memisahkan negara-negara berdasarkan tingkat pendapatan, dengan batas ditetapkan pada 13.845 dolar AS per orang per tahun.
Negara-negara yang pendapatannya di bawah ambang batas ini menunjukkan respons emosional terhadap panas yang lebih kuat dibandingkan negara-negara yang lebih kaya.
Hal ini masuk akal mengingat negara-negara yang lebih kaya memiliki lebih banyak pendingin ruangan (AC), fasilitas kesehatan yang lebih baik, dan infrastruktur yang lebih kuat untuk menghadapi cuaca ekstrem.
Siqi Zheng dari MIT, yang memimpin studi ini menambahkan bahwa studi ini akhirnya mengungkapkan kenaikan suhu tidak hanya mengancam kesehatan fisik atau produktivitas ekonomi tetapi juga memengaruhi perasaan orang-orang setiap hari di seluruh dunia.
Tak berhenti sampai sini, peneliti kemudian menggunakan model iklim untuk memprediksi bagaimana panas ekstrem dapat memengaruhi emosi manusia pada 2100.
Temuannya cukup mengejutkan. Bahkan dengan asumsi manusia akan beradaptasi dengan suhu yang lebih tinggi seiring waktu, peneliti memproyeksikan bahwa kesejahteraan emosional akan memburuk sebesar 2,3 persen hanya karena panas pada akhir abad ini.
Baca juga: Panas Ekstrem Membunuh Burung Tropis, Bikin Populasinya Anjlok
"Sekarang jelas, dengan studi kami yang sedang berlangsung ini, yang melengkapi temuan dari studi sebelumnya, bahwa cuaca mengubah sentimen dalam skala global," kata Nick Obradovich dari Sustainable Urbanization Lab dan Laureate Institute for Brain Research di Tulsa.
Seiring perubahan cuaca dan iklim, membantu individu menjadi lebih tangguh terhadap guncangan kondisi emosional mereka pun akan menjadi komponen penting dari adaptasi masyarakat secara keseluruhan.
Kendati demikian studi ini masih masih memiliki keterbatasan karena pengguna media sosial tidak sepenuhnya mewakili semua orang. Anak-anak dan lansia menggunakan media sosial lebih sedikit dibandingkan kelompok usia lainnya.
Ironisnya, mereka seringkali merupakan orang-orang yang paling rentan terhadap panas ekstrem, yang berarti dampak emosional nyata dari cuaca panas mungkin bahkan lebih buruk daripada yang diungkap dalam studi ini.
“Kami berharap studi ini membantu para peneliti, pembuat kebijakan, dan masyarakat lebih siap menghadapi dunia yang semakin panas,” tambah Zheng.
Penelitian ini pun membuka cara berpikir baru mengenai perubahan iklim yang sebagian besar berfokus pada dampak kesehatan fisik, kerusakan ekonomi atau kerusakan lingkungan melainkan juga potensi krisis kesehatan mental yang parah.
Baca juga: Bahaya di Balik Plastik yang Jadi Andalan, Ada Risiko Kanker hingga Fertilitas
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya