JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bakal menawarkan perdagangan karbon internasional pada pertemuan Conference of the Parties (COP) 30 di Belem, Brasil, November 2025 mendatang. Wakil Menteri LH, Diaz Hendropriyono, menyebutkan hal itu dilakukan saat sesi pertemuan penjual dan pembeli di ruang paviliun.
Ia mencatat sejauh ini Norwegia berencana membeli 12 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) dari Indonesia.
"Norwegia sudah menyatakan intensinya untuk membeli karbon sebanyak 12 juta ton CO2. Tetapi ini skemanya mungkin berbeda, enggak hanya beli langsung seperti itu tetapi mendukung sebuah proyek, anggap saja misalnya proyek solar panel," kata Diaz saat ditemui di Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2025).
Baca juga: Perdagangan Karbon Belum Bergairah, Padahal Butuh Rp 4.000 T untuk Pangkas Emisi
Selain itu, Korea Selatan juga berpotensi menjajaki kerja sama dengan Indonesia untuk kredit karbon dari sektor kelapa sawit. Sementara dengan Jepang untuk proyek Renewable Energy Certificate (REC).
"Korea juga sudah menyatakan interest terkait carbon credit dari POME (palm oil mill effluent), dari sektor kelapa sawit. Nanti kami akan lihat konvensionalisasinya seperti apa karena kami sudah punya MoU dengan Korea sebelumnya yang akan expire pada 2026," jelas Diaz.
Indonesia kini tengah memproses perjanjian pengakuan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan badan standar dan registrasi pasar karbon, Verra. Diberitakan sebelumnya, Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH, Ary Sudijanto, mengakui perdagangan karbon belum banyak diminati.
Menurut dia, terdapat dua skema perdagangan karbon yakni di dalam negeri yang dirilis pada September 2023 dan perdagangan karbon internasional dirilis IDX Carbon pada Januari 2025.
"Catatannya hampir 3 juta (ton CO2e) yang bisa kami sediakan. Kemudian sudah lebih dari 1,6 juta yang dibeli dengan nilai hampir Rp 78 miliar, memang mungkin masih kecil, tetapi ternyata IDX Carbon dapat penghargaan sebagai pasar karbon yang aktif di emerging economic," ucap Ary saat ditemui di Jakarta Selatan, Senin (25/8/2025).
Baca juga: Riau Berambisi Dapat Rp 4 Triliun dari Perdagangan Karbon
Dia memaparkan, pemerintah membutuhkan pendanaan Rp 4.000 triliun untuk memenuhi target penurunan emisi berdasarkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Oleh sebab itu, pihaknya kini tengah berupaya memasuki pasar karbon sukarela untuk mendapatkan pendanaan iklim.
"Kami mencoba alignment dengan pasar karbon sukarela, yang memang kapitalisasi pasarnya sudah sangat susah. Kami sudah menjalin mutual economic agreement dengan Gold Standard, lalu di akhir bulan ini atau di awal September kami akan signing dengan Plan Vivo," sebut dia.
KLH telah menggandeng Gold Standard, organisasi nirlaba yang berfokus pada isu iklim, proyek energi, hingga industri. Sedangkan, kerja sama dengan Plan Vivo rencananya akan mencakup solusi berbasis alam salah satunya perhutanan sosial.
"Harapannya, kami menyediakan semua kanal yang ada untuk memobilisasi bagi pendanaan, aksi-aksi perubahan iklim. Di samping itu juga kami melakukan bilateral agreement untuk implementasi dari artikel 6.2 Paris Agreement, yang sekarang sudah ada dengan Jepang dan Norway," jelas dia.
Baca juga: Terobosan Baru, Limbah Udang Disulap Jadi Teknologi Penangkap Karbon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya