KOMPAS.com - Penelitian baru mengungkapkan politisi dan pembuat kebijakan secara signifikan meremehkan kesediaan masyarakat untuk berkontribusi pada aksi iklim.
Hal itu pada akhirnya membatasi ambisi dan ruang lingkup kebijakan yang pro lingkungan.
Hasil tersebut didapat setelah peneliti meminta delegasi di United Nations Environment Assembly (UNEA) untuk memperkirakan berapa persentase populasi global yang bersedia menyumbangkan 1 persen dari pendapatan mereka untuk membantu mengatasi perubahan iklim.
Rata-rata perkiraan mereka adalah 37 persen, tetapi penelitian terbaru menemukan bahwa angka kesediaan sebenarnya mencapai 69 persen.
Penelitian yang sama menemukan bahwa 89 persen orang berpendapat bahwa pemerintah negara mereka harus berbuat lebih banyak untuk melawan pemanasan global.
Baca juga: Pariwisata Jadi Kontributor Pertumbuhan Ekonomi tapi Rentah Perubahan Iklim
Melansir Guardian, Selasa (2/9/2025) bagi para penulis studi, perbedaan besar antara angka yang dipersepsikan dan angka yang sebenarnya merupakan kasus mengkhawatirkan dari apa yang mereka sebut 'ketidaktahuan pluralistik'.
Dalam kondisi tersebut, orang-orang secara sistematis meremahkan kesediaan sesama warga negara untuk bertindak mengatasi suatu masalah yang pada akhirnya menyebabkan keadaan saat ini terus dipertahankan.
Bagi para peneliti, "kesenjangan mispersepsi" ini sangat mengejutkan karena kelompok survei di UNEA yakni sebanyak 191 delegasi dari 53 negara beranggotakan individu dengan tingkat keterlibatan dan pengetahuan iklim yang lebih tinggi, termasuk 24 negosiator kebijakan yang aktif.
Meskipun demikian, 83 persen delegasi yang disurvei setuju bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan aksi iklim yang berarti.
"Temuan ini menunjukkan adanya kesenjangan antara persepsi para pembuat kebijakan dan pandangan masyarakat yang mereka wakili," kata Dr. Ximeng Fang, penulis utama studi dari Saïd Business School di University of Oxford.
Dr. Stefania Innocenti, salah satu penulis dari Smith School of Enterprise and the Environment di Oxford, menyampaikan para pembuat kebijakan akan cenderung mengambil langkah aman jika mereka merasa tidak punya dukungan dari masyarakat dan akan memangkas proposal kebijakan yang berani.
"Jika kita tidak menjembatani kesenjangan ini, kita akan gagal mencapai tujuan kita," katanya.
Baca juga: Studi Ungkap, Perubahan Iklim Buka Jalan bagi Timbulnya Pandemi Zoonosis
Fang menambahkan para pembuat kebijakan seharusnya memprioritaskan pembahasan solusi iklim dan cara mewujudkannya, alih-alih membuang waktu dan energi untuk memperdebatkan urgensinya.
"Mencapai nol emisi itu tidak hanya bisa dilakukan, tapi juga menguntungkan secara ekonomi. Kunci utamanya adalah mengedukasi masyarakat tentang potensi manfaat ini, " kata Fang.
Lebih lanjut, para peneliti meyakini, dengan membangun cerita tentang iklim yang penuh optimisme dan harapan, "kesenjangan mispersepsi" ini dapat dipersempit, sehingga bisa mengimbangi pengaruh media berita yang memiliki sudut pandang ideologi tertentu.
"Saya harap penelitian kami mendorong para pejabat kebijakan untuk lebih berani dan mengejar kebijakan iklim yang lebih ambisius. Mereka memiliki dukungan publik lebih besar dari yang mungkin mereka sadari," papar Dr. Joshua Ettinger, salah satu penulis studi dari Center for Climate Change Communication di George Mason University.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya