PEMERINTAH menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional.
Perpres ini disebut sebagai tonggak penting menuju target "Net Zero Emission 2060".
Namun, di balik ambisi itu, ada banyak tanda tanya. Apakah kebijakan ini benar-benar menurunkan emisi, atau sekadar menciptakan pasar baru bagi “udara bersih” yang bisa diperjualbelikan?
Perpres 110/2025 memperluas mekanisme dari Perpres 98/2021 dengan menambahkan instrumen baru seperti alokasi karbon dan Sistem Registri Unit Karbon (SRUK).
Pemerintah kini dapat menetapkan batas emisi (kuota karbon) dan memperdagangkan unit karbon lintas sektor dan wilayah.
Baca juga: Antara Karbon dan Kedaulatan: Menakar Arah Transisi Energi Indonesia
Secara teori, langkah ini terdengar ideal. Namun dalam praktiknya, alokasi karbon yang diatur dalam Pasal 20–24 bisa berubah menjadi “izin legal untuk mencemari”.
Tanpa sistem verifikasi transparan, perusahaan besar bisa tetap memproduksi emisi tinggi dengan alasan sudah membeli kredit karbon dari pihak lain.
Ini membuka ruang greenwashing—praktik ketika korporasi tampak ramah lingkungan di atas kertas, padahal tak mengubah cara produksinya yang intensif karbon.
Perpres memberi peran sangat besar kepada pelaku usaha dalam perdagangan karbon. Korporasi bisa memperjualbelikan kredit karbon lintas sektor, bahkan lintas negara. Sementara peran negara tampak lebih sebagai “pengatur bursa” ketimbang pengendali emisi.
Padahal, tujuan utama kebijakan iklim seharusnya adalah menekan emisi di sumbernya, bukan memfasilitasi transaksi.
Pasar karbon memang dapat menggerakkan dana hijau. Namun, tanpa batas emisi yang tegas, mekanisme ini hanya menunda transisi dari energi fosil ke energi bersih.
SRUK dirancang menjadi basis data nasional untuk mencatat dan melaporkan aktivitas karbon. Namun sayangnya, Perpres tidak menetapkan kewajiban keterbukaan data kepada publik.
Siapa yang mendapat kuota karbon terbesar? Berapa harga per unit karbon? Siapa yang diuntungkan dari perdagangan ini? Semua masih gelap.
Tanpa transparansi, pasar karbon mudah disusupi kepentingan bisnis dan bisa menjadi sumber ketimpangan baru dalam ekonomi hijau.
Kritik lain muncul dari aspek keadilan iklim. Sektor kehutanan dan lahan, tempat penyimpanan karbon terbesar di Indonesia, sebagian besar berada di wilayah adat dan pedesaan. Namun Perpres ini belum memastikan adanya benefit sharing yang adil.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya