Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nofiyendri Sudiar
Dosen

Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) sekaligus Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs Center Universitas Negeri Padang.

Nilai Ekonomi Karbon: Jangan Jadi Komoditas Baru yang Hijau di Atas Kertas

Kompas.com - 19/10/2025, 13:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional.

Perpres ini disebut sebagai tonggak penting menuju target "Net Zero Emission 2060".

Namun, di balik ambisi itu, ada banyak tanda tanya. Apakah kebijakan ini benar-benar menurunkan emisi, atau sekadar menciptakan pasar baru bagi “udara bersih” yang bisa diperjualbelikan?

Pasar karbon yang masih kabur

Perpres 110/2025 memperluas mekanisme dari Perpres 98/2021 dengan menambahkan instrumen baru seperti alokasi karbon dan Sistem Registri Unit Karbon (SRUK).

Pemerintah kini dapat menetapkan batas emisi (kuota karbon) dan memperdagangkan unit karbon lintas sektor dan wilayah.

Baca juga: Antara Karbon dan Kedaulatan: Menakar Arah Transisi Energi Indonesia

Secara teori, langkah ini terdengar ideal. Namun dalam praktiknya, alokasi karbon yang diatur dalam Pasal 20–24 bisa berubah menjadi “izin legal untuk mencemari”.

Tanpa sistem verifikasi transparan, perusahaan besar bisa tetap memproduksi emisi tinggi dengan alasan sudah membeli kredit karbon dari pihak lain.

Ini membuka ruang greenwashing—praktik ketika korporasi tampak ramah lingkungan di atas kertas, padahal tak mengubah cara produksinya yang intensif karbon.

Perpres memberi peran sangat besar kepada pelaku usaha dalam perdagangan karbon. Korporasi bisa memperjualbelikan kredit karbon lintas sektor, bahkan lintas negara. Sementara peran negara tampak lebih sebagai “pengatur bursa” ketimbang pengendali emisi.

Padahal, tujuan utama kebijakan iklim seharusnya adalah menekan emisi di sumbernya, bukan memfasilitasi transaksi.

Pasar karbon memang dapat menggerakkan dana hijau. Namun, tanpa batas emisi yang tegas, mekanisme ini hanya menunda transisi dari energi fosil ke energi bersih.

SRUK dirancang menjadi basis data nasional untuk mencatat dan melaporkan aktivitas karbon. Namun sayangnya, Perpres tidak menetapkan kewajiban keterbukaan data kepada publik.

Siapa yang mendapat kuota karbon terbesar? Berapa harga per unit karbon? Siapa yang diuntungkan dari perdagangan ini? Semua masih gelap.

Tanpa transparansi, pasar karbon mudah disusupi kepentingan bisnis dan bisa menjadi sumber ketimpangan baru dalam ekonomi hijau.

Di mana posisi masyarakat?

Kritik lain muncul dari aspek keadilan iklim. Sektor kehutanan dan lahan, tempat penyimpanan karbon terbesar di Indonesia, sebagian besar berada di wilayah adat dan pedesaan. Namun Perpres ini belum memastikan adanya benefit sharing yang adil.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Usai BRGM Dibubarkan, 26.000 Hektar Gambut Terbakar, Siapa Kini yang Bertanggung Jawab?
Usai BRGM Dibubarkan, 26.000 Hektar Gambut Terbakar, Siapa Kini yang Bertanggung Jawab?
LSM/Figur
Belantara Foundation Ingatkan Pentingnya Koeksistensi untuk Mitigasi Konflik Gajah dan Manusia
Belantara Foundation Ingatkan Pentingnya Koeksistensi untuk Mitigasi Konflik Gajah dan Manusia
LSM/Figur
KLH Usul Pemda Tarik Retribusi untuk Kelola Sampah Jadi Energi Listrik
KLH Usul Pemda Tarik Retribusi untuk Kelola Sampah Jadi Energi Listrik
Pemerintah
BRIN Wanti-wanti Hujan Mikroplastik Tak Hanya Terjadi di Jakarta
BRIN Wanti-wanti Hujan Mikroplastik Tak Hanya Terjadi di Jakarta
Pemerintah
Pemanfaatan Teknologi CCS Justru Berisiko Tingkatkan Emisi Karbon
Pemanfaatan Teknologi CCS Justru Berisiko Tingkatkan Emisi Karbon
LSM/Figur
Terang Lampu Surya Selamatkan Penyu, Kurangi Kasus Terjerat hingga 63 Persen
Terang Lampu Surya Selamatkan Penyu, Kurangi Kasus Terjerat hingga 63 Persen
LSM/Figur
PSN Merauke Dikritik Picu Deforestasi, Pemerintah Bilang Siap Reforestasi
PSN Merauke Dikritik Picu Deforestasi, Pemerintah Bilang Siap Reforestasi
Pemerintah
UNEP Kucurkan 100 Juta Dolar AS untuk Aksi Iklim, Indonesia Termasuk Penerima
UNEP Kucurkan 100 Juta Dolar AS untuk Aksi Iklim, Indonesia Termasuk Penerima
Pemerintah
Intervensi Pangan Berkelanjutan Perlu Libatkan Anak dan Remaja
Intervensi Pangan Berkelanjutan Perlu Libatkan Anak dan Remaja
LSM/Figur
Standar Baru Emisi Disepakati, Peluang Akhiri Kekacauan Perhitungan
Standar Baru Emisi Disepakati, Peluang Akhiri Kekacauan Perhitungan
Swasta
Kemenhut: Kelompok Tani Hutan Bakal Pasok Produk ke Kopdes Merah Putih
Kemenhut: Kelompok Tani Hutan Bakal Pasok Produk ke Kopdes Merah Putih
Pemerintah
Perpres Baru Akui Semua Skema Karbon, Akhiri Tumpang Tindih Proyek Hijau
Perpres Baru Akui Semua Skema Karbon, Akhiri Tumpang Tindih Proyek Hijau
LSM/Figur
IESR: Harga Listrik akan Mahal jika Pemerintah Pertahankan PLTG
IESR: Harga Listrik akan Mahal jika Pemerintah Pertahankan PLTG
LSM/Figur
Prabowo Teken Perpes 110 Tahun 2025, Disebut Bisa Percepat Investasi Hijau
Prabowo Teken Perpes 110 Tahun 2025, Disebut Bisa Percepat Investasi Hijau
Pemerintah
BNPB: Banjir, Cuaca Ekstrem, dan Karhutla Jadi Bencana Paling Dominan sejak Awal 2025
BNPB: Banjir, Cuaca Ekstrem, dan Karhutla Jadi Bencana Paling Dominan sejak Awal 2025
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau