KOMPAS.com - Badan Standardisasi Nasional (BSN) mendorong seluruh pihak menjaga iklim usaha industri testing, inspection, and certification (TIC).
Deputi Bidang Akreditasi BSN Wahyu Purbowasito mengatakan, melalui TIC dipastikan kualitas produk-produk industri yang dihasilkan dalam aktivitas perekonomian, mendukung inovasi, dan memfasilitasi akses ke pasar global melalui pemenuhan standar internasional.
“Jadi industri TIC memiliki peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas dan berdaya saing global,” ujar Deputi Bidang Akreditasi BSN Wahyu Purbowasito.
Menurut Wahyu, harapan BSN tersebut telah disampaikan dalam Rapat Koordinasi Pemberlakuan Standarisasi Industri yang diadakan Forum Kementerian Perekonomian beberapa waktu lalu.
Di dalam rapat tersebut, BSN mengingatkan para pemangku kepentingan untuk melibatkan dunia usaha karena Indonesia terlalu luas dari segi geografi dan demografi.
Baca juga: Syarat Mutu Beras Berbeda, BSN Minta Pemerintah Tetapkan Satu Regulasi Mengacu ke SNI
Dengan pelibatan perusahaan swasta dapat mempercepat proses sertifikasi melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) sehingga tidak terjadi antrean dan dwelling time.
Wahyu menambahkan, jika tidak dijaga bersama-sama iklim usaha tersebut, investasi bakal seret atau lari ke luar negeri.
Padahal, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan para menteri untuk menghilangkan kendala dalam impor dan memperluas peran dunia usaha.
Harapan senada disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mendorong mesin pertumbuhan swasta berjalan baik, sering dengan pemerintah.
Pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah harus melaksanakan perintah dari Presiden Prabowo.
“Tentunya dengan bersama-sama menerapkan good practice governance,” kata Wahyu.
Baca juga: Menanam Mangrove, Menumbuhkan Harapan: Cara Lestari KG Media Melampaui Berita
Menurutnya, tata kelola pemerintahan yang baik harus memiliki kejelasan tugas dan peran antara pihak regulator, pembina, pelaksana, dan pengawas sertifikasi.
“Dengan prinsip tersebut, sistem sertifikasi dapat dijaga agar tetap adil, transparan, dan akuntabel,” imbuhnya.
Di sisi lain, BSN telah menerima pengaduan yang disampaikan anggota Perkumpulan Penilai Kesesuaian Seluruh Indonesia (Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia/ALSI).
Hal itu terkait dengan keputusan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang hanya menunjuk Balai Besar Standarisasi miliknya untuk melakukan sertifikasi produk impor tertentu, dan tidak melibatkan lembaga sertifikasi produk (LSPro) swasta.
Sementara, LSPro swasta hanya diberikan porsi kecil untuk melayani sertifikasi produk dalam negeri yang jumlahnya sedikit dan LSPro yang ditunjuk juga termasuk LSPro pemerintah.
Baca juga: KG Media Tanam 10.000 Bibit Mangrove di Indramayu, Bisnis Bisa Lestari
Alhasil, sejak awal 2025, banyak LSPro swasta tidak mendapat proyek sertifikasi lagi dan mangkrak laboratoriumnya.
"Pendapatan kami anjlok hingga 80 persen dan sudah merumahkan sebagian karyawan. Kami sedih. Ini terpaksa kami lakukan," kata Direktur Eksekutif PT Ceprindo Dasriel Adnan Noeha.
Para anggota LSPro swasta itu telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), memiliki kompetensi lingkup produk Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diwajibkan, dan laboratorium pengujian sendiri.
Adapun biaya untuk membangun laboratorium oleh LSPro sebesar Rp 25-50 miliar untuk satu lingkup produk.
"Saya meminjam uang ke bank untuk membuat laboratorium senilai Rp 35 miliar. Kini terancam disita bank karena tidak sanggup lagi mencicil utang bank ini,” ujar Dasriel.
Baca juga: Peran Strategis Industri Kertas dalam Menjaga Hutan Lestari
Selain Ceprindo, ada puluhan anggota ALSI yang terancam kolaps.
Padahal, peran LSPro swasta selama ini tidak hanya membantu industri, tetapi juga mendukung pemerintah dalam memastikan produk yang beredar di pasar memenuhi standar mutu dan keselamatan.
“Kami khawatir, jika kondisi ini berlanjut, banyak LSPro swasta tidak dapat bertahan lagi,” kata Ketua Umum ALSI, Nyoman Susila.
Berdasarkan data September 2025, dari 9000 SNI, sekitar 4000 adalah SNI produk di mana hanya 322 yang merupakan SNI wajib.
Dari 322 SNI produk yang wajib, sebanyak 136 berada di lingkup Kementerian Perindustrian, sedangkan sisanya ada di kementerian atau lembaga lainnya.
Baca juga: Mendengar Suara Perempuan Penggerak Keberlanjutan di Lestari Summit 2025
Wahyu pun menyarankan ALSI untuk mencari peluang baru dan mengembangkan pada SNI produk-produk lainnya.
“Memang ini membutuhkan waktu, tambahan investasi dan peningkatan keterampilan,” katanya.
Dia mengakui bahwa LSPro swasta yang terakreditasi KAN telah banyak berinvestasi untuk pengadaan laboratorium dan peningkatan kapasitas personel.
Wahyu berharap, seluruh pemangku kepentingan tidak mengganggu iklim usaha yang telah berjalan baik dan dunia usaha untuk mencari peluang-peluang baru. Salah satunya, menambah produk-produk yang mendapat SNI wajib yang saat ini masih kecil volumenya.
“Industri TIC yang didukung oleh dunia usaha adalah bagian dari penjaminan mutu produk nasional,” kata Wahyu.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya