KALIMANTAN BARAT, KOMPAS.com - Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang telah dibubarkan per 31 Desember 2024 dinilai perlu dihidupkan kembali.
Menurut fasilitator Tropenbos Indonesia, Hendra Gunawan, lembaga dengan kualifikasi restorasi gambut dan mangrove masih diperlukan di berbagai bekas wilayah kerja BRGM.
Hingga saat ini, belum ada lembaga pengganti BRGM dalam mengerjakan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan mangrove dan gambut.
"Perlu, karena lembaga yang kualikasinya terkait restorasi gambut belum ada ya. Di sini, BRGM melakukan survei yang detail engineering-nya untuk titik pemasangan sekat itu kan targetnya 98 titik. Sekarang baru berapa?, hanya enam titik. Yang lain dari Tropenbos Indonesia sebanyak 10 titik. Jadi, ada sekitar 16 titik," ujar Hendra, Senin (27/102/2025).
Baca juga: Di Balik Sunyi Rawa Gambut Ketapang: Perjuangan Warga Menantang Api Karhutla
Ke depan, Tropenbos Indonesia juga perlu membuat sekat kanal untuk hutan desa rawa gambut di Desa Sungai Besar, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, sebagai tindak lanjut pasca BRGM dibubarkan.
Tropenbos Indonesia memang telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan BRGM dalam pembuat sekat kanal di hutan desa rawa gambut di Desa Sungai Besar tersebut.
"Berarti, ada 20 persen lah dari titik yang harus ada gitu kan, sekat-sekat di kanal itu," tutur Hendra.
Ia mempertanyakan tindak lanjut terhadap rencana kerja BRGM pasca lembaga ad hoc itu dibubarkan. Padahal, hasil kegiatan BRGM di tingkat tapak yang diserahkan kepada kelompok masyarakat masih memerlukan pendampingan lebih lanjut.
Hal ini mengingat BRGM menggunakan pendekatan bottom-up berbentuk swakelola yang melibatkan masyarakat dalam pengerjaan sekat kanal dan kegiatan pemberdayaan lainnya terkait gambut maupun mangrove.
"BRGM membangun fondasinya dari masyarakat. Jadi, ada fasilitator restorisasi gambut dengan penempatana di desa. Ada empat fasilitator di sini, pasca BRGM bubar, ya mereka juga selesai. Nah, itu tidak ada lagi pendampingan," ucapnya.
Namun, untuk Desa Sungai Besar, kata dia, masih ada Tropenbos Indonesia yang mengadopsi master plan, pendekatan, sampai pengelolaan lahan gambutnya melalui strategi 3T (rewetting, revegetation, dan revitalization. Semestinya, kata dia, pendekatan swakelola BRGM dalam pengelolaan lahan gambut perlu dilakukan berkelanjutan.
Hendra mengatakan, fasilitator BRGM melakukan beberapa kegiatan di empat desa dalam Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Pawan-Kepulu-Pesagua yakni Desa Sungai Besar, Desa Pelang, Desa Sungai Bakau, dan Desa Pematang Gadung.
Kegiatan mencakup penyuluhan di tingkat desa tentang bahaya membakar lahan dan pemberdayaan ekonomi dengan menggerakkan pertanian dengan tanaman horikultura seperti cabai.
Baca juga: Kebakaran Lahan Gambut Akibat El Nino Bisa Terulang pada 2027
Sebelumnya, peneliti Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin mempertanyakan siapa yang akan mengambil alih kewenangan BRGM pasca lembaga ad hoc itu dibubarkan per 31 Desember 2024 lalu.
Padahal, setelah BRGM dibubarkan, temuan Madani Berkelanjutan menunjukkan 26.761 hektar lahan gambut terbakar sepanjang Juli-Agustus 2025. Menurut Sadam, selama tahun 2025, angka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kawasan gambut masih sangat tinggi, yang bahkan tanpa pengaruh El-Nino.
"Kewenangan BRGM ini dilimpahkan ke siapa, walaupun di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sudah ada direktorat yang menangani hal tersebut. Siapa yang bertanggung jawab? Apakah KLH atau Kementerian Kehutanan (Kemenhut) atau siapa?, karena kalau dulu kami mungkin bisa meminta pertanggungjawaban terhadap BRGM sebagai lembaga berwenangan," ujar Sadam di Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya