KOMPAS.com - Indonesia bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen jika terjadi kenaikan kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) minimal 4,7 persen per tahun.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Koperasi, Korporasi, dan Ekonomi Kerakyatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erizal Gamal mengungkapkan penopang dari itu adalah pertumbuhan sub-sektor pangan yang minimal 4,2 persen, peternakan 4,9 persen, serta perikanan 6,3 persen.
"Itu perlu ditunjang oleh pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Katakanlah, bahwa pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh 8,2 persen itu, pertanian harus tumbuh 4,7 persen per tahun, sementara industri 7,3 persen dan jasa 9,5 persen. Itu hasil simulasi yang kami buat," ujar Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Koperasi, Korporasi, dan Ekonomi Kerakyatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erizal Gamal dalam webinar, beberapa hari lalu.
Baca juga: Thailand Niat Kembangkan Startup Teknologi Pertanian, Jadikan Indonesia Pasar Utama
Namun, selama ini kontribusi sektor pertanian terhadap PDB di Indonesia cenderung mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir, dari 41,03 persen pada 1960-an, menjadi 12,42 persen di tahun 2023.
Hal tersebut beriringan juga dengan penurunan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian secara signifikan. Bahkan, kontribusi sub sektor sistem pangan (agrifood system) semakin kecil.
Di sisi lain, kontribusi sub sektor off farm atau semua kegiatan ekonomi di luar produksi pertanian primer di lahan justru semakin berperan dominan.
Tren total factor productivity (TFP) pertanian yang melambat mengisyaratakan pentingnya mengintensifkan inovasi dan penerapan teknologi. Khususnya, petani gurem dengan penguasaan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar.
"Pertanyaan pokoknya bagaimana memacu pertumbuhan yang sangat tinggi pada pertanian gurem. Hilirisasi yang dicanangkan pemerintah hanya akan berhasil bila kegiatan ini dapat membesarkan," tutur Erizal.
Menurut Erizal, pola kemitraan semestinya bukan sekadar memosisikan usaha skala besar sebagai off-taker bagi usaha petani berskala kecil.
Ia merekomendasikan usaha skala besar menyediakan tenaga pendamping yang bisa bekerja sama secara berkelanjutan dengan usaha petani berskala kecil agar dapat menumbuhkan perasaan saling percaya.
Selain itu, ke depannya, pembangunan sektor pertanian harus memperhatikan kepentingan pencapaian swasembada pangan dan memilah komoditas sub-sektor yang berpotensi berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menurut dia, produksi pertanian harus mampu merespon perubahan pola makan masyarakat yang disertai upaya meningkatkan konsumsi sayur, buah, ternak, serta produksi perikanan.
Menanggapi hal itu, Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas, Jarot Indarto mengatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen tersebut belum menghitung emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan.
Tanpa merinci, kata dia, perhitungan emisi GRK untuk produksi pertanian primer di lahan relatif rendah. Namun, apabila emisi GRK yang dihasilkan sektor pertanian dihitung secara komprehensif dengan melibatkan scope 2 dan scope 3, seperti sistem pangan, maka kontribusinya sangat besar.
Jarot juga menyoroti tidak dimasukkannya aspek kelembagaan dan regulasi dalam perhitungan dan proyeksi pertumbuhan ekonomi 8 persen tersebut.
Baca juga: Penggunaan Pupuk Kimia Tinggi, Tanda Pertanian Indonesia Belum Berkelanjutan
"Ini adalah hal-hal yang juga kita pahami bersama, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi," ucapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya