JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia berisiko melewatkan masa emas ekonomi hijau, sebuah peluang pertumbuhan yang bisa dicapai tanpa merusak lingkungan.
Alih-alih memanfaatkan momentum ini, pemerintah justru mendorong target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang bebannya akan diwariskan ke generasi berikutnya.
Dalam dokumen komitmen iklim Second Nationally Determined Contribution (SNDC), Indonesia terlihat masih mengandalkan pertambangan dan industri ekstraktif untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.
"Saya khawatir kalau model SNDC-nya Indonesia seperti sekarang dan komitmen iklimnya tidak jelas seperti ini. Kita akan melewati keuntungan dari ekonomi hijau, bahkan sampai 2035," ujar Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara di Jakarta, Rabu (19/11/2025).
Negara lain telah lebih dulu memperbaiki sumber daya alam dan mengembangkan teknologi transisi energi.
Indonesia justru melewatkan momentum tersebut, hingga tertinggal satu dekade dari Tiongkok, Vietnam, dan Filipina.
Keterlambatan ini dipicu lemahnya perencanaan, ketidaksiapan industri, serta ketidakmampuan menjawab keraguan investor.
Baca juga: IESR: Revisi Perpres 112 Tahun 2022 Ancam Target Transisi Energi
Vietnam dan Filipina sudah mengamankan fondasi transisi energi sejak 2015. Vietnam, misalnya, melakukan lewat ledakan panel surya, Filipina melalui reformasi kelistrikan.
"Ada kabar baru 2 jam lalu dari teman-teman Filipina ini. Jadi, proyek pembangkit (listrik tenaga) gasnya akhirnya dibatalkan. Kenapa? Karena proyek pembangkit gasnya itu mengancam terumbu karang di Verde (Island) Passage," tutur Bhima.
Keputusan seperti ini menunjukkan kesadaran Filipina sebagai negara kepulauan yang rentan krisis iklim. Indonesia punya kondisi serupa dan dapat memilih peran: menjadi korban atau menjadi pemain utama.
Bhima menyebut Indonesia justru bergerak mundur dan kehilangan peluang menciptakan 19 juta lapangan kerja dari transisi energi, belum termasuk inisiatif energi terbarukan berbasis komunitas.
Kesempatan besar itu terbuang karena pemerintah percaya pada narasi yang keliru, termasuk keyakinan bahwa hilirisasi nikel otomatis mendukung transisi energi.
Kenyataannya, pasar mobil listrik di Indonesia tidak berkembang, sementara industri nikel mengalami kelebihan pasokan dan banyak perusahaan tumbang.
"Disebut ya di SNDC, padahal yang terjadi apa. EV-nya Indonesia enggak booming, nikelnya dikeruk, over supply, terus banyak yang bangkrut. Jadi, masa keemasan golden period-nya itu sudah hilang," ucapnya.
Di sisi lain, Pakistan justru mengalami booming panel surya dan kini kebingungan karena sudah telanjur berinvestasi pada PLTU batu bara. Indonesia terancam mengalami masalah serupa jika tidak segera mengejar ketertinggalan transisi energi.
Bhima meminta pemerintah berhenti menunggu “booming komoditas” sebagai solusi pembangunan. Pola lama itu dinilai tidak akan mengantar Indonesia menuju pertumbuhan 8 persen yang berkualitas, justru memperburuk ketimpangan dan membebani APBN dengan kerusakan lingkungan.
"Jadi, isunya adalah (pertumbuhan ekonomi) 8 persen mengabaikan lingkungan versus pertumbuhannya mungkin tidak akan mencapai 8 persen, tetapi lapangan kerja yang tersedia banyak, anak mudanya bahagia, alamnya juga kemudian bisa lebih terjaga," ujar Bhima.
Baca juga: Kata Walhi, RI dan Brasil Kontraproduktif Atasi Krisis Iklim jika Transisi Energi Andalkan Lahan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya