KOMPAS.com - Kemajuan dalam penggunaan kontrasepsi modern berada di bawah ancaman serius.
Meskipun ada hasil yang baik, pemotongan bantuan internasional dapat membalikkan kemajuan ini dan secara langsung mengurangi akses terhadap kontrasepsi bagi jutaan perempuan di negara-negara miskin.
Laporan dari Family Planning 2030 menunjukkan kemajuan yang telah diraih dengan susah payah selama satu dekade dalam kesehatan reproduksi dapat hancur setelah Amerika Serikat, yang pernah menanggung 41 persen anggaran keluarga berencana global, sebagian besar menghentikan pendanaannya.
“Kita berada di ambang kemajuan dan kemunduran,” ujar Samukeliso Dube, direktur eksekutif FP2030, dalam konferensi pers di Konferensi Internasional tentang Keluarga Berencana (ICFP) di ibu kota Kolombia, Bogota.
Dube mengatakan lebih dari 80 persen dana pemerintah untuk keluarga berencana berasal dari negara-negara yang telah mengumumkan atau mengusulkan pemotongan signifikan terhadap anggaran bantuan internasional mereka.
Baca juga: MBG: Janji Kesehatan Anak Bangsa yang Terancam oleh Buruknya Tata Kelola
Selain Amerika Serikat, negara-negara tersebut termasuk Belanda, Inggris, Jerman, dan Swedia.
Sekitar 101 juta orang lebih banyak dari negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah dapat mengakses alat kontrasepsi modern, termasuk implan dan suntik dibandingkan tahun 2012, menurut laporan FP2030.
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa hampir 400 juta dari 1,1 miliar perempuan usia reproduksi di negara-negara tersebut menggunakan alat kontrasepsi.
FP2030 menyatakan pula bahwa penggunaan alat kontrasepsi modern pada tahun 2024 saja telah mencegah 148 juta kehamilan yang tidak diinginkan, 30 juta aborsi yang tidak aman, dan 128.000 kematian ibu di seluruh dunia.
Namun, pemotongan dana AS dan negara penyandang lain, telah membuat kelompok-kelompok kesehatan seksual dan reproduksi harus mencari sumber dana baru.
Kelompok riset dan kebijakan yang berbasis di AS, Guttmacher Institute menyebutkan diperlukan 104 miliar dolar AS setiap tahunnya, atau hampir dua kali lipat jumlah yang saat ini dibelanjakan, untuk memenuhi semua kebutuhan kesehatan seksual dan reproduksi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
"Untuk mengisi kesenjangan pendanaan dalam kesehatan dan hak seksual dan reproduksi perlu menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah nasional, pemerintah donor, lembaga filantropi, dan sektor swasta," kata Dr. Elizabeth Sully, direktur riset internasional Guttmacher Institute.
Melansir Eco Business, Senin (24/11/2025) beberapa pakar mengatakan bahwa menyusutnya donasi bantuan menunjukkan kerentanan sistem kesehatan yang bergantung pada donor dan perlunya pendanaan alternatif dan domestik.
Baca juga: Ketergantungan pada Energi Fosil Tingkatkan Risiko dan Biaya Kesehatan di RI
Di kawasan Asia-Pasifik, yang merupakan rumah bagi populasi perempuan usia subur terbesar dan jumlah pengguna kontrasepsi terbesar di dunia, FP2030 menyatakan bahwa pemotongan dana USAID telah menghantam program kesehatan remaja dan pemuda.
Di ICFP, para ahli dari lebih dari 800 organisasi dari sekitar 120 negara pun mencari solusi lokal untuk mengatasi kekurangan pendanaan global dan perubahan iklim politik seputar kesehatan dan hak reproduksi seksual.
Dr. Anu Kumar, kepala Ipas, organisasi internasional yang berfokus pada kesehatan reproduksi dan hak asasi manusia yang berfokus pada akses terhadap kontrasepsi dan aborsi mengatakan pemotongan dana asing telah memicu diskusi tentang bagaimana negara dan organisasi dapat membangun layanan kesehatan berkelanjutan dan mendorong pemerintah untuk memikirkan kembali prioritas anggaran.
"Saya pikir ini akan membutuhkan cara berpikir baru tentang cara membangun kembali arsitektur kesehatan global," ujarnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya