Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir

Kompas.com, 9 Desember 2025, 19:33 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ilmuwan senior CIFOR-ICRAF sekaligus Guru Besar IPB University, Herry Purnomo, mengatakan perkebunan kelapa sawit tidak bisa menggantikan fungsi hutan untuk menyerap karbon dioksida (CO2). Kemampuan sawit dalam menyerap air pun jauh lebih rendah dibandingkan pepohonan di hutan alami.

"Jadi kalau air hujannya merembes ke tanah kalau sawit (filtrasinya) lebih kecil, kalau hutan lebih besar. Kemudian kalau menyerap karbon juga jauh lebih kecil, carbon stocks sawit per hektare cuma 30 ton," kata Herry saat dihubungi, Selasa (9/12/2025).

Sedangkan hutan dapat menyerap 10 kali lipat karbon, atau sekitar 300 ton CO2 ekuivalen per hektarenya. Herry menyatakan bahwa perkebunan sawit memiliki tujuan utama untuk kepentingan ekonomi, bukan fungsi ekologis seperti hutan. Namun, pemilik konsesi justru sering kali membuka hutan untuk menanam sawit.

Baca juga: Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit

"Sawit enggak salah, cuma tempatnya saja jangan di tempat yang memang untuk hutan. Kan banyak areal-areal yang untuk kebun ya di situlah," tutur dia.

Sebelumnya, perkebunan sawit disinyalir menjadi biang kerok banjir bandang yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh pada 25-27 November lalu. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bahkan menghentikan sementara operasional empat perusahaan, yang salah satunya perkebunan sawit.

Sementara, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) berencana mengubah kebun sawit kembali menjadi area hutan.

Herry menilai hal itu sah-sah saja dilakukan asal dengan perencanaan yang matang serta pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan kondisi lahan. Menurut dia, pergantian kebun sawit menjadi hutan tak serta-merta dilakukan sekaligus.

Baca juga: Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang

Tahapannya dapat dimulai dari menggantikan pohon sawit yang sudah tua dan tidak produktif. Sedangkan sawit yang masih berproduksi dapat tetap tumbuh hingga masa produktifnya selesai.

"Jadi supaya di bawahnya itu tidak ada konflik ya dilihat, dievaluasi per peta. Kalau (sawit) sudah tua tinggal diganti saja, menanam pohon itu juga tidak gampang jadi mesti dibuat planning mana dulu ditanam," jelas dia.

Waktu pemulihan lahan sangat bergantung pada karakteristik wilayah, termasuk kondisi gambut, mangrove, mineral, maupun kemiringan lahan. Dia memperkirakan masa pemulihan kawasan hutan di Sumatera bisa mencapai 10 hingga 20 tahun.

Selain aspek ekologis, keterlibatan masyarakat menjadi faktor keberhasilan penanaman kembali hutan. Penanaman pohon buah, misalnya, di samping tanaman lain untuk menambah penghasilan masyarakat yang terlibat.

"Jadi masyarakat harus dilibatkan, karena kalau masyarakat enggak dapet penghasilan sulit juga. akan mencari lahan buat kebun lagi, makanya sekarang banyak perhutanan sosial di mana masyarakat dari pepohonan dapat penghasilan," tutur Herry.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Air di Jakarta Tercemar Bakteri Koli Tinja, Ini Penyebabnya
Air di Jakarta Tercemar Bakteri Koli Tinja, Ini Penyebabnya
Pemerintah
Pemerintah dan KI Bentuk Tim Pelaksana Budi Daya Udang Berkelanjutan di Banyuwangi
Pemerintah dan KI Bentuk Tim Pelaksana Budi Daya Udang Berkelanjutan di Banyuwangi
Pemerintah
Bencana Sumatera, BRIN Soroti Mitigasi Lemah Saat Siklon Senyar Terjadi
Bencana Sumatera, BRIN Soroti Mitigasi Lemah Saat Siklon Senyar Terjadi
Pemerintah
Nestapa Gajah Sumatera
Nestapa Gajah Sumatera
Pemerintah
Kerusakan Lingkungan Capai Rp 83 Triliun per Jam, PBB Desak Transformasi Sistem Pangan dan Energi
Kerusakan Lingkungan Capai Rp 83 Triliun per Jam, PBB Desak Transformasi Sistem Pangan dan Energi
Pemerintah
Menyelamatkan Spesies Endemik, Strategi Konservasi Taman Safari Indonesia di Era Perubahan Iklim
Menyelamatkan Spesies Endemik, Strategi Konservasi Taman Safari Indonesia di Era Perubahan Iklim
Swasta
Impor Limbah Plastik Picu Kenaikan Sampah Pesisir, Simak Penelitiannya
Impor Limbah Plastik Picu Kenaikan Sampah Pesisir, Simak Penelitiannya
LSM/Figur
Anak-anak Korban Bencana di Sumatera Dapat Trauma Healing
Anak-anak Korban Bencana di Sumatera Dapat Trauma Healing
Pemerintah
Cegah Deforestasi, Koalisi LSM Rilis Panduan Baru untuk Perusahaan
Cegah Deforestasi, Koalisi LSM Rilis Panduan Baru untuk Perusahaan
LSM/Figur
Dukung Pembelajaran Anak Disabilitas, Wenny Yosselina Kembangkan Buku Visual Inklusif
Dukung Pembelajaran Anak Disabilitas, Wenny Yosselina Kembangkan Buku Visual Inklusif
LSM/Figur
Kemendukbangga: Program MBG Bantu Cegah Stunting pada Anak
Kemendukbangga: Program MBG Bantu Cegah Stunting pada Anak
Pemerintah
Mengapa Anggaran Perlindungan Anak Harus Ditambah? Ini Penjelasannya
Mengapa Anggaran Perlindungan Anak Harus Ditambah? Ini Penjelasannya
LSM/Figur
Banjir di Sumatera, Kemenhut Beberkan Masifnya Alih Fungsi Lahan
Banjir di Sumatera, Kemenhut Beberkan Masifnya Alih Fungsi Lahan
Pemerintah
Limbah Plastik Diprediksi Capai 280 Juta Metrik Ton Tahun 2040, Apa Dampaknya?
Limbah Plastik Diprediksi Capai 280 Juta Metrik Ton Tahun 2040, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Koperasi Bisa Jadi Kunci Transisi Energi di Masyarakat
Koperasi Bisa Jadi Kunci Transisi Energi di Masyarakat
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau