KOMPAS.com - Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Dudi Gardesi Asikin mengatakan air sungai, situ, dan waduk di Jakarta tercemar berbagai bakteri, antara lain bakteri koli dan bakteri koli tinja.
Hal itu diketahui berdasarkan penelitian DLH DKI Jakarta, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB University, Lemtek Universitas Indonesia, serta Direktorat Pengabdian Masyarakat dan Layanan Kepakaran Institut Teknologi Bandung.
Baca juga:
“Kondisi ini disebabkan oleh utamanya grey water atau air buangan domestik yang tidak mengandung tinja atau urin dari bak mandi, pancuran, wastafel kamar mandi, dan mesin cuci yang belum terkelola dengan baik,” kata Dudi dalam keteranyannya, Kamis (11/12/2025).
Riset DLH DKI Jakarta bersama IPB dan UI menemukan air sungai, situ, dan waduk tercemar bakteri koli dan koli tinja.Menurut Dudi, masyarakat cenderung membuang limbah sembarangan dengan sistem pengelolaan limbah UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) dan permukiman yang belum terkelola dengan baik.
Selain itu, kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS) ditemukan dalam pemantauan kualitas air situ atau waduk di Jakarta.
Para peneliti juga menemukan air tidak memenuhi parameter fenol, total fosfat, total nitrogen, kebutuhan oksigen secara proses biologis dalam air.
Di Waduk Rawa Kepa, misalnya, banyak saluran limbah yang langsung masuk ke dalam badan air situ atau waduk melalui saluran perpipaan rumah tangga.
Dampaknya adalah meningkatnya risiko penyebaran bakteri koli dan bakteri koli tinja dalam badan air yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
“Upaya penyediaan septic tank komunal dan sistem pengelolaan limbah harus dibuat secara luas untuk memenuhi kualitas lingkungan yang lebih baik,” papar peneliti IPB University, Zaenal Abidin.
Baca juga:
Pengerukan Kali Cideng di Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan pada Senin (21/4/2025).Sekretaris Eksekutif PPLH IPB University, Liyantono mengatakan, risetnya dilakukan dengan membagi sungai-sungai di DKI Jakarta menjadi enam klaster untuk memudahkan menentukan prioritas pengelolaan.
Pembagian ini dilakukan berdasarkan karakteristik dan level pencemaran dari ruas sungai.
Karakteristik sungai dicirikan dari lebar, kedalaman, kelokan, dan kecepatan arus dari ruas sungai yang diamati. Peneliti kemudian mengaitkannya dengan nilai indeks pencemaran dari ruas sungai yang diukur pada titik tertentu.
“Sebagai contoh, korelasi yang ditemukan di ruas Kali Cideng dominan ditemukan cemar berat. Hal ini sesuai dengan kondisi air yang memiliki aliran lambat dan input air hanya mengandalkan dari saluran grey water dari warga,” kata Liyantono.
Temuan lainnya, perilaku masyarakat terhadap pengelolaan limbah domestik dan sanitasi relatif sama. Dia berpandangan, pencemaran air disebabkan perilaku serta kesadaran masyarakat.
Di samping itu, keberadaan septic tank yang tidak memenuhi standar membuat terjadinya potensi rembesan limbah menuju resapan air tanah. Alhasil, ditemukan bakteri koli tinja dalam air tanah warga.
“Seharusnya keberadaan bakteri koli ini tidak boleh ada sama sekali dalam air tanah sesuai aturan dari Permenkes Nomor 2 Tahun 2023. Hal yang unik, berdasarkan temuan dari tim, saluran grey water terkadang bercampur dengan saluran buang air kecil," tutur Liyantono.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya