JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Indonesia Corporate Secretary Association (ICSA), Katharine Grace memproyeksikan pendanaan hijau (green financing) di Indonesia akan melonjak pada 2026 mendatang.
Terlebih, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meminta bank-bank besar untuk terus meningkatkan porsi pinjaman hijau (green loan).
Baca juga:
"Kalau melihat dari data-data yang dikeluarkan kan sekarang disclosure (pengungkapan) mengenai sustainability (keberlanjutan) harus transparan. Kami lihat systemic bank (bank besar) itu selalu meningkat 15-18 (persen) sekarang sudah banyak di atas 20, jadi memang harus diminta meningkat," kata Grace di sela Green Economic Outlook 2026, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
Dia menambahkan, peningkatan pembiayaan hijau salah satunya dapat disokong sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah). Bank Indonesia, kata dia, tengah menyiapkan program UMKM Green untuk memperluas akses kredit hijau bagi pelaku usaha kecil.
Namun, Grace menekankan tantangan utamanya adalah masih rendahnya tingkat kelayakan bank atau bankability sektor tersebut.
"Kami menemukan banyak UMKM itu belum bankable, jadi ini pinjaman yang risikonya tinggi. Ini yang kita harus tetap berpihak kepada UMKM, Green UMKM jadi harus ada mitigasi, pemantauan yang lebih ketat karena kalau ujungnya kemudian kreditnya mahal juga tidak mendukung," papar Grace.
Baca juga: ESG dan Potret Kecil Paradoksnya di Dunia Korporasi
Pendanaan hijau di dalam negeri diproyeksikan naik jika perusahaan dan perbankan menjalankan operasional dengan prinsip berkelanjutan. Di sisi lain, Grace menyoroti masih banyaknya perusahaan yang belum menerapkan energi terbarukan pada operasionalnya. Padahal perbankan telah siap mendongkrak pembiayaan hijau di dalam negeri.
"Nah itu yang juga inklusivitasnya di situ. Tidak hanya bank yang terus harus menaikkan loan growth tapi pipeline-nya juga artinya permintaannya harus juga kita genjot dan itu harus dari regulator," ucap dia.
Baca juga:
Dalam kesempatan yang sama, Co-Founder & CEO Olahkarsa, Unggul Ananta mencatat investasi berkelanjutan secara global makin meningkat.
Berdasarkan laporan Sustainability Reality dari Ford & Stanley, rata-rata imbal hasil investasi berkelanjutan sebesar 12,5 persen. Angkanya lebih tinggi dibanding dana tradisional yang tumbuh 9,2 persen.
"Tentu dari data ini mengirimkan suatu pesan yang penting di mana perusahaan mulai melihat bahwa ESG (Environmental, Social, and Governance) ini bukan hanya sekadar baik terhadap bumi dan masyarakat serta stakeholder, tetapi bagaimana pembiayaan ESG memiliki implikasi terhadap imunitas ekonomi yang lebih kuat dan kinerja finansial yang lebih baik," jelas Unggul.
ESG juga mulai berevolusi dari sekadar kepatuhan menjadi instrumen manajemen risiko sekaligus katalis pertumbuhan bagi perusahaan maupun masyarakat.
Baca juga: Tantangan Baru Brand Mewah: Isu ESG dan Transparansi yang Mendesak
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya