KOMPAS.com - Para ilmuwan memperingatkan beberapa bahan sintetis kimia yang digunakan dalam sistem pangan saat ini dapat mendorong peningkatan angka kanker, kondisi perkembangan saraf, dan infertilitas, sekaligus merusak fondasi pertanian global.
Beban kesehatan akibat paparan bahan kimia sintetis, termasuk di antaranya Beban kesehatan akibat ftalat, bisfenol, pestisida, dan PFAS (bahan kimia abadi) itu pun dapat mencapai hingga 2,2 triliun dolar AS per tahun.
Sebagian besar kerusakan ekosistem belum diperhitungkan, tetapi peneliti menyebut biayanya bisa sebesar 640 miliar dollar AS.
Terdapat pula potensi konsekuensi bagi demografi manusia jika paparan seperti bisfenol dan ftalat terus berlanjut pada tingkat saat ini, dapat terjadi penurunan jumlah kelahiran antara 200 juta hingga 700 juta antara tahun 2025 dan 2100.
Kesimpulan tersebut merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan puluhan ilmuwan dari berbagai organisasi termasuk Institute of Preventive Health, Center for Environmental Health, Chemsec, dan berbagai universitas di AS dan Inggris, termasuk University of Sussex dan Duke University.
Laporan dipimpin tim dari Systemiq, sebuah perusahaan yang berinvestasi dalam usaha yang bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan PBB dan perjanjian Paris tentang perubahan iklim.
Baca juga: Asia Pasifik Diprediksi Makin Panas, Ancaman untuk Kesehatan dan Infrastruktur
Fokus empat bahan kimia
Melansir Guardian, Rabu (10/12/2025) dalam studinya, peneliti fokus menganalisis empat jenis bahan kimia yang lazim dalam produksi pangan lobal karena termasuk yang paling umum dan banyak dipelajari di seluruh dunia serta memiliki bukti kuat tentang bahayanya bagi kesehatan manusia dan ekologi.
Ftalat dan bisfenol umumnya digunakan sebagai aditif plastik, yang digunakan dalam kemasan makanan dan sarung tangan sekali pakai yang digunakan dalam persiapan makanan.
Sementara pestisida digunakan untuk pertanian industri, di mana pertanian monokultur skala besar menyemprotkan ribuan galon pestisida pada tanaman untuk menghilangkan gulma dan serangga.
PFAS digunakan dalam bahan kontak makanan seperti kertas anti minyak, wadah popcorn.
Semuanya telah dikaitkan dengan bahaya termasuk gangguan endokrin (sistem hormon), kanker, cacat lahir, gangguan intelektual, dan obesitas.
Menurut salah satu anggota tim peneliti, Philip Landrigan, seorang dokter anak dan profesor kesehatan masyarakat global di Boston College, laporan ini merupakan sebuah peringatan.
Landrigan melihat adanya perubahan kondisi yang memengaruhi anak-anak. Jumlah penyakit dan kematian yang disebabkan oleh penyakit menular telah menurun drastis.
Baca juga: Kerusakan Lingkungan Capai Rp 83 Triliun per Jam, PBB Desak Transformasi Sistem Pangan dan Energi
Sebaliknya, terjadi peningkatan luar biasa dalam angka penyakit tidak menular. Tentu saja tidak ada faktor tunggal tetapi buktinya sangat jelas bahwa peningkatan paparan bahan kimia buatan merupakan penyebab penyakit pada anak-anak.
“Dunia benar-benar harus bangun dan melakukan sesuatu tentang polusi kimia. Saya berpendapat bahwa masalah polusi kimia sama seriusnya dengan masalah perubahan iklim,” katanya.
Paparan manusia dan ekosistem terhadap bahan kimia sintetis telah meningkat pesat sejak akhir Perang Dunia Kedua, dengan produksi bahan kimia meningkat lebih dari 200 kali lipat sejak tahun 1950-an dan lebih dari 350.000 bahan kimia sintetis saat ini berada di pasar global.
Tiga tahun lalu, para peneliti Stockholm Resilience Centre (SRC) menyimpulkan bahwa polusi kimia telah melintasi batas planet, mendorong Bumi keluar dari zona keamanan dan stabilitas iklim dan lingkungan selama 10.000 tahun terakhir.
Tidak seperti obat-obatan, hanya ada sedikit pengamanan untuk menguji keamanan bahan kimia industri sebelum digunakan, dan sedikit pemantauan terhadap dampaknya setelah digunakan. Beberapa telah ditemukan sangat beracun bagi manusia, hewan, dan ekosistem, sehingga pemerintah harus menanggung biayanya.
sumber https://www.theguardian.com/environment/2025/dec/10/synthetic-chemicals-food-system-health-burden-report
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya