Ketiga, India memprioritaskan pengurangan risiko daripada menawarkan subsidi. Menurut Nikit, subsidi hanya diberikan pada tahun-tahun awal untuk menstimulasi proyek EBT.
"Wawasan penting kedua bagi Indonesia adalah bahwa pengurangan risiko lebih penting daripada menawarkan subsidi atau insentif," tutur Nikit.
India membantu dalam pengadaan lahan, sebuah masalah utama di daerah berpenduduk padat. Misalnya, pemerintah terlibat dalam upaya mengakuisi lahan untuk diserahkan secara gratis atau dengan harga lebih rendah kepada pengembang proyek EBT.
Selain itu, India menawarkan jaminan infrastruktur transmisi tegangan tinggi untuk setiap proyek EBT yang berkapasitas lebih dari 50 MW. Ia menganggap strategi tersebut dapat mengurangi risiko penghentian proyek EBT secara signifikan.
Baca juga:
Strategi terakhir adalah menciptakan ekosistem yang memungkinkan sektor swasta turut berkontribusi dalam pengembangan EBT.
India disebut memastikan bahwa perusahaan utilitas lokal bukanlah satu-satunya pembeli energi surya. Bahkan, negara tersebut mendorong penggunaan energi surya untuk non-perusahaan utilitas.
Konsumen industri atau komersial dapat berkontrak secara langsung dengan pengembang energi surya. Hal ini menciptakan sumber permintaan tambahan di luar perusahaan utilitas.
"Energi surya, elektron-elektron surya itu jelas perlu mengalir melalui jaringan utilitas, saluran transmisi utilitas, dan utilitas akan menerima biaya transmisi hanya untuk mengirimkan listrik, tetapi kontrak saya sebagai konsumen industri adalah langsung dengan pengembang energi surya," ucap Nikit.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya