KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritik pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengusulkan ekspansi kebun sawit dan tebu ke Papua.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Papua, Maikel Peuki mengaku khawatir apabila pemerintah membuka tanah adat dan hutan di Papua untuk proyek perkebunan sawit, tebu, dan tanaman lain terkait program pangan atau energi.
Baca juga:
"Kami Walhi Papua menolak segala bentuk deforestasi pembukaan hutan adat di Papua dengan skala besar. Masyarakat adat Papua tidak mau mendapat bencana ekologis yang akan datang," ujar Maikel dalam keterangannya, Rabu (17/12/2025).
Sebelumnya diberitakan Kompas.com, Selasa (16/12/2025), Presiden Prabowo menyatakan harapannya agar Papua turut ditanami sawit sehingga bisa berswasembada energi dengan menghasilkan BBM (bahan bakar minyak) dari sawit.
"Dan juga nanti kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit," kata Prabowo saat memberi pengarahan dalam rapat percepatan pembangunan Papua di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2025).
Diharapkan dalam lima tahun ke depan, semua daerah, termasuk Papua, bisa swasembada energi dan swasembada pangan.
"Juga tebu menghasilkan etanol, singkong cassava juga untuk menghasilkan etanol sehingga kita rencanakan dalam lima tahun semua daerah bisa berdiri di atas kakinya sendiri swasembada pangan dan swasembada energi," jelas Presiden.
Baca juga:
Presiden RI Prabowo Subianto saat memimpin rapat percepatan pembangunan Papua di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/12/2025).Maikel menuturkan, wacana tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap hak adat masyarakat Papua, kelestarian hutan adat, ketahanan pangan lokal, dan keberlanjutan lingkungan.
"Papua bukan tanah kosong, Papua tolak deforestasi, Papua tolak Proyek Strategis Nasional," ucap Maikel.
Menurutnya, kebijakan swasembada pangan dan energi yang dirancang pemerintah cenderung menguatkan dominasi korporasi atas lahan luas, bukan berbasis pada kebutuhan dan kearifan lokal masyarakat adat.
Perkebunan sawit dan tebu disebut mengancam keanekaragaman hayati, ekosistem hutan, dan ketahanan pangan tradisional masyarakat adat Papua.
“Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah Papua belum menghargai, menghormati dan mengakui masyarakat adat Papua sebagai pemilik tanah dan hutan adat Papua," ucap dia.
Di sisi lain, Maikel turut menyoroti pemerintah dan daerah yang belum melibatkan masyarakat adat secara bebas dan informatif sebelum mengambil keputusan.
Dia menambahkan, rencana penanaman sawit di Papua justru memicu konflik agraria, mempercepat kerusakan hutan, dan menghancurkan sistem pangan lokal yang selama ini bertumpu pada sagu, serta hasil hutan lainnya.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya