KOMPAS.com - Sistem peringatan dini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) masih bersifat forecast atau perkiraan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya bencana. Namun, sistem peringatan dini tersebut dinilai belum mampu membantu pencegahan dampak bencana akibat siklon.
Sistem peringatan dini di Indonesia dinilai harus berbasis dampak yang ditimbulkan dari potensi bencana (impact-based early warning system) agar bisa menghadapi siklon.
Baca juga:
Menurut pakar kebencanaan Jonatan A. Lassa, sistem peringatan dini berbasis dampak tidak hanya sekadar memberi informasi, tapi juga memperkirakan risiko potensial dari siklon.
"World Meteorological Organization (WMO) dan lembaga-lembaga di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun para saintis yang semua ini sudah cukup lama berbicara impact-based early warning system. Jadi, enggak cukup ya, mengatakan kapan early warning ini terjadi, tetapi kapan, di mana, siapa yang terkena dampak, dan apa artinya buat decision making (pengambilan keputusan," ujar Jonatan dalam webinar, Selasa (23/12/2025).
BANJIR SUMATERA: Petugas Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh mengambil sampel kayu gelondongan yang terbawa arus luapan Sungai Tamiang, di area pasantren Islam Terpadu Darul Mukhlishin, Desa Tanjung Karang, Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (19/12/2025). Kemenhut telah mengirim tim verifikasi dan membentuk tim investigasi gabungan bersama Polri untuk menelusuri asal-usul kayu gelondongan yang ditemukan pascabencana banjir di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Provinsi Aceh.
Di sisi lain, pembangunan sistem peringatan dini berbasis dampak, kata Jonatan, mempunyai konsekuensi politik yang besar.
Misalnya, pada tahun 2012 Presiden Amerika Serikat, Barack Obama mendeklarasikan darurat nasional untuk badai super besar (hurricane sandy) berdasarkan potensi bencana.
Meski bencana belum tentu terjadi, berkaca dari kasus Obama, sebenarnya kepala negara bisa melakukan (feasible) deklarasi nasional dalam upaya mengantisipasi bencana.
Dengan demikian, Obama terbebas dari segala konsekuensi hukum jika badai super besar tersebut benar-benar datang.
Baca juga:
"Kalau siklonnya enggak tiba atau hurricane enggak tiba, bersyukur dong. Tapi kalau tiba, kita punya decision making yang bagus sehingga banyak orang terselamatkan, helikopternya sudah siap, bukan tunggu 10 hari (pasca-kejadian). Helikopternya sudah tunggu H-1 (sebelum kejadian)," tutur Jonatan.
Ia mengkritik perdebatan "kerja pemerintah" yang merujuk pada pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait pengerahan sekitar 50 helikopter untuk penanganan bencana di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh pada awal Desember 2025 lalu.
"Memang akan mungkin mendorong untuk beli banyak helikopter, tanpa mengubah tata kelola itu kan konyol, nanti helikopternya makin banyak, tetapi kemampuan decision making-nya enggak bagus. Yang menjadi masalah besar sekarang itu kemampuan decision making," kata Jonatan.
Foto udara kondisi sekitar jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Kamis (11/12/2025). Warga masih melintasi jembatan darurat dari batang kayu akibat jalan dan jembatan penghubung antara Kabupaten Tapanuli Selatan menuju Tapanuli Tengah-Sibolga serta Medan putus diterjang banjir bandang pada Selasa (29/11). Deklarasi status bencana nasional, lanjut dia, semestinya beberapa hari ditetapkan sebelum siklon tropis senyar menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Jonatan mengkritik salah kaprah dalam memaknai deklarasi status bencana nasional sebagai bentuk intervensi asing yang bernuansa ekonomi-politik.
"Kalau saya kepala BNPB, saya sudah bilang ke Pak Prabowo, kita deklarasi status nasional itu dua hari sebelum barangnya (siklon trois senyar) tiba, sebelum bencana malapetaka ini datang," tutur Jonatan.
Menurut Jonatan, deklarasi status bencana nasional merupakan tindakan darurat, yang di antaranya membuka pintu bagi pihak-pihak internasional untuk menyalurkan bantuan dari negeri asalnya.
Ia menganggap, sebenarnya keengganan pemerintah menetapkan deklarasi status bencana nasional lebih ke arah permasalahan tradisi atau budaya politik.
"Kasus di Palu bukan status (bencana) nasional. (Seolah) Kami enggak minta (dibantu), tapi monggo (silakan) kalau mau pun bantu. Bahasa kasarnya kan tradisi itu sudah berlangsung di banyak negara, terutama Asia Pasifik. Pemerintah makin memberikan beban, makin meng-exercise otoritasnya (menguatkan hak berkuasanya), makin punya sovereignty (kedaulatan)," ujar Jonatan.
Baca juga:
Foto udara kondisi jembatan Aek Garoga 2 yang sebelumnya rusak akibat bencana banjir bandang dan tanah longsor di Desa Aek Garoga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Kamis (11/12/2025). Jembatan penghubung antara Tapanuli Tengah dengan Tapanuli Selatan yang sebelumnya terdampak banjir bandan dan dipenuhi kayu itu kini sudah bisa dilintasi warga.
Selain itu, banyak pemerintah di negara-negara berkembang disebut "sungkan" mendeklarasikan status bencana nasional seolah "trauma" dengan kolonialisme masa lalu, yang menyiratkan jika mendeklarasikan status bencana nasional, pintu untuk pihak asing mengintervensi akan terbuka dan pemerintah akan kehilangan kedaulatan.
Sebelumnya, Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Iwan Ridwansyah menilai, Indonesia belum serius membangun sistem peringatan dini dalam menghadapi bencana hidrometereologi.
BMKG memang telah memberikan peringatan dini siklon tropis senyar di sebagian wilayah Sumatera beberapa hari sebelumnya. Namun, peringatan dini tidak menyertakan gambaran seberapa besar dampaknya dan bagaimana cara memitigasinya.
"Serius atau enggak sih bikin peringatan dini? Itu BMKG memang sudah memberikan warning, kalau daerah melihatnya ya, 'Oh ada siklon', tapi dampaknya seperti 'kiamat kecil' itu seharusnya dijelaskan atau diperlihatkan juga. Itu pendidikan untuk masyarakat dan pejabat harus kita upgrade," ujar Iwan dalam webinar beberapa hari lalu.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya