BATAM, KOMPAS.com – Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) di Johor Bahru, Malaysia, mengungkapkan banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja melalui jalur non-prosedural atau lebih dikenal dengan illegal.
“Berdasarkan data lintasan warga negara Indonesia di tahun 2022 lalu, diduga 212.517 WNI bekerja di Malaysia menggunakan visa turis atau wisata,” kata KJRI Johor Bahru Malaysia Sigit melalui keterangan tertulis, Jumat (21/7/2023).
Bahkan data ini, terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan entry atau exit point yang dimiliki KJRI Johor Bahru, pada tahun 2022 jumlah WNI yang masuk sebanyak 626.837 orang.
Baca juga: 4,4 Juta PMI Bekerja Tidak Resmi, Rawan Jadi Korban Kekerasan
Dan dari data itu, diketahui yang keluar atau pulang ke Indonesia sebanyak 414.320 orang.
Sedangkan 212.517 WNI tak kembali ke tanah air setelah masuk ke Malaysia melalui beberapa pintu yakni Kepulauan Riau (Kepri) yang meliputi Batam, Bintan, dan Karimun. Kemudian Riau seperti Bengkalis, Pulau Rupat dan Dumai.
“Tentunya berdasarkan data tersebut, 212.517 WNI yang tidak pulang ke tanah air, dan kami duga bekerja di Malaysia,” tambah Sigit.
KJRI Johor Bahru sebagai perwakilan Indonesia terus memantau penempatan para TKI secara ilegal yang jumlahnya fluktuatif.
Enter point yang terdata KJRI, ada sebanyak 13 pintu masuk resmi dan tidak resmi untuk saat ini.
Baca juga: Timpang, Pendapatan Pekerja Informal Lebih Kecil daripada UMP Nasional
Tantangan yang dihadapi KJRI dalam pelaksanaan perlindungan WNI atau TKI di Malaysia adalah pemberi kerja yang masih memilih TKI non procedural, sebab hal ini dinilai lebih murah dari segi biaya dan cepat prosesnya.
Ditambah lagi, penegakan hukum terhadap pelaku penempatan TKI ilegal di Malaysia cenderung masih lemah.
“Apalagi model bisnis sangat berubah dalam perkembangan digitalisasi dan teknologi, hal ini juga merupakan tantangan KJRI yang berat dalam pelaksanaan perlindungan WNI, khususnya TKI,” papar Sigit.
Sigit juga menjelaskan, dilema yang dihadapi yakni, Malaysia membutuhkan tenaga kerja khususnya di Johor Bahru. Sementara warga negaranya sendiri lebih memilih bekerja di Singapura karena mendapat upah yang lebih tinggi.
“Rata-rata upah di sini antara RM 1.500 sampai RM 5.000 per bulan, atau Rp 4,5 juta hingga Rp 15 juta per bulannya,” ungkap Sigit.
Baca juga: 59,31 Persen Pekerja Indonesia Berkecimpung di Sektor Informal
Hal ini yang memebuat peluang besar untuk WNI bekerja di Malaysia, ditambah lagi para TKI beranggapan bekerja dengan prosedural kurang populer lantaran mahal dan lama prosesnya.
"Sehingga non procedural banyak diminati meski resikonya sangat-sanga tluar biasa,” jelas Sigit.
Mirisnya, setiap TKI ilegal yang diamankan aparat hukum di Malaysia tidak diposisikan sebagai korban, tentunya tidak sedikit WNI yang dipenjara hanya karena tertangkap bekerja secara illegal.
“WNI yang menjadi TKI ilegal cendrung kurang edukasi, tidak memahami hukum dan aturan yang berlaku. Perlu eduksi yang masif dilakukan dari tempat asal untuk meminimalisir penempatan TKI secara Ilegal yang berkelanjutan,” kata Sigit.
Hal itu juga perlu dukungan dari segala pihak, tidak hanya dari aparat penegak hukum saja. Sebab, dampaknya selain berpotensi menjadi korban perdagangan orang, anak-anak para TKI ilegal yang terlahir di Malaysia tidak dapat bersekolah dan tidak dapat jaminan kesehatan yang layak.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya