Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 8 Februari 2024, 11:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, menyampaikan beberapa hal yang dilakukan Indonesia untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal.

Berdasarkan perhitungan IESR, kata Fabby, bauran energi terbarukan di Indonesia perlu mencapai 40-45 persen untuk mencapai target NZE tersebut.

Dengan target angka tersebut, ia mengaku memang tak mudah. Sebab, bertahun-tahun sebelumnya Indonesia belum pernah mencapai angka 15 persen energi baru terbarukan (EBT).

Hal ini menjadi penyebab wacana Dewan Energi Nasional (DEN) akan merevisi target bauran EBT dari 23 persen menjadi 17-19 persen pada 2025.

Baca juga: Target Bauran EBT Harusnya Ditambah, Bukan Dikurangi

"Kalau sekarang kita mau mencapai 23 persen, itu artinya harus ngejar, harus berlari. Dari hitung-hitungan kami, untuk mencapai 23 persen, perlu menambah pembangkit listrik sekitar 10-11 giga watt (GW), itu yang perlu ditambah," ujar Fabby dalam webinar Pojok Energi-Sinyal "Edge" Transisi Energi, Rabu (7/2/2024).

Oleh sebab itu, Indonesia perlu memperbanyak mengurangi energi fosil dan mengganti dengan sumber energi baru dan terbarukan.

"Kalau kita ingin menaikkan bauran EBT 23 persen, kuncinya EBT ditambah, bauran energi fosilnya harus dikurangi," imbuh dia.

Bangun pembangkit listrik dan dorong PLTS

Ia menyebut pihaknya optimis pemerintah dapat membangun lebih banyak lagi pembangkit listrik energi terbarukan. 

Fabby mengatakan, meski memakan waktu cukup lama, sudah ada beberapa proyek pembangkit listrik yang sejak dua hingga tiga tahun lalu kesulitan pendanaan. Dengan perbaikan pembiayaan, proyek tersebut bisa terus dikembangkan. 

"Kedua, yang harus dioptimalkan adalah PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Kenapa? Selain sumber energinya paling banyak di Indonesia, PLTS ini juga sangat fleksibel," terangnya.

PLTS dikatakan fleksibel karena dapat dipasang di berbagai tempat, seperti di atas atap, tanah, di atas air, bahkan di lahan pertanian. Selain itu, harganya juga semakin kompetitif.

Baca juga:

"Kalau hari ini sudah ada target 3,6 GW PLTS atap sebagai program strategis nasional sampai 2025, itu ditetapkan pada 2021, jadi kalau misalnya ini diakselerasi, luar biasa sekali," kata Fabby.

Menurutnya, berdasarkan data IESR pada 2014, dengan fleksibilitas PLTS ada potensi pembangkit listrik ini dibangun di rumah-rumah seluruh Indonesia. Hingga 2030, ia menghitung bisa tercapai setidaknya 15 sampai 20 GW. 

"Siapa yang investasi? Itu enggak perlu APBN, masyarakat bisa pasang. Yang perlu didorong pemerintah, dimudahkan aja pasang PLTS atap, jangan dipersulit. Kelas menengah di perkotaan banyak mampu pasang itu," ujarnya. 

Ia menambahkan, proyek PLTS skala besar seperti PLTS terapung juga sebisa mungkin dikebut sampai tahun 2025. 

Co-firing biomassa dan pensiun dini PLTU

Langkah lainnya, kata Fabby, dengan memperbanyak pemanfaatan co firing biomassa, yang sudah mencapai 1 juta ton pada 2023. Untuk mengganti setidaknya 10 persen energi, co firing biomassa harus diupayakan mencapai 12 juta ton.  

"Ini mungkin naikin sampai 2025, bisa enggak 5 juta ton? Kalau ini sudah lumayan, karena apa, berarti batu baranya berkurang, energi terbarukannya naik. Jadi biomass lewat co firing biomassa sepanjang sumber-sumbernya sustainable itu harus didorong," papar dia. 

Terakhir, Fabby menegaskan pentingnya menurunkan PLTU yang sudah tua dan tidak efisien. PLTU-PLTU tersebut bisa dipensiunkan dini hingga 2025. 

"IESR punya hitung-hitungan, ada ada 4,8 GW (PLTU) yang berpotensi dipensiunkan dini. Kalau itu dilakukan, plus kita tidak membangun PLTU baru sampai 2030, saya rasa target 23 persen bisa tercapai, asalkan kita istiqomah," pungkasnya. 

Baca juga: Pensiun Dini PLTU Dianggap Warga Lokal Lebih Berdampak Positif

Baca juga: Pengamat: Belum Ada Peta Jalan Komprehensif Pensiun Dini PLTU

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Cuaca Ekstrem di Sumatera Dipicu Anomali Siklon Tropis, Ini Penjelasan Pakar
Cuaca Ekstrem di Sumatera Dipicu Anomali Siklon Tropis, Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
6 Cara Sederhana Mengurangi Food Waste di Rumah
6 Cara Sederhana Mengurangi Food Waste di Rumah
Swasta
Potensi Panas Bumi Capai 2.160 GW, RI Bisa Buka 650.000 Lapangan Kerja Baru
Potensi Panas Bumi Capai 2.160 GW, RI Bisa Buka 650.000 Lapangan Kerja Baru
LSM/Figur
Sumatera Dikepung Air: Krisis Ruang dan Kegagapan Informasi
Sumatera Dikepung Air: Krisis Ruang dan Kegagapan Informasi
Pemerintah
Siklon Tak Wajar Picu Bencana di Sumatera Barat, Sedang Diteliti UNAND
Siklon Tak Wajar Picu Bencana di Sumatera Barat, Sedang Diteliti UNAND
LSM/Figur
BRIN Fokus Riset Pengelolaan Sampah, Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi
BRIN Fokus Riset Pengelolaan Sampah, Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi
Pemerintah
Menteri LH Hanif Nilai Indonesia Belum Siap Hadapi Krisis Iklim, Sibuk Cari Cara Turunkan Emisi
Menteri LH Hanif Nilai Indonesia Belum Siap Hadapi Krisis Iklim, Sibuk Cari Cara Turunkan Emisi
Pemerintah
Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
LSM/Figur
Menteri LH Hanif Soal COP30, Negara Dunia Masih Berdebat dan Krisis Iklim Terabaikan
Menteri LH Hanif Soal COP30, Negara Dunia Masih Berdebat dan Krisis Iklim Terabaikan
Pemerintah
Ketika Alam Dirusak, Jangan Salahkan Alam
Ketika Alam Dirusak, Jangan Salahkan Alam
Pemerintah
Perluasan Kota Ancam Akses Air Bersih pada 2050, Ini Studinya
Perluasan Kota Ancam Akses Air Bersih pada 2050, Ini Studinya
Swasta
Ratusan Ilmuwan Tandatangani Deklarasi Dartington, Desak Pemimpin Dunia Atasi Perubahan Iklim
Ratusan Ilmuwan Tandatangani Deklarasi Dartington, Desak Pemimpin Dunia Atasi Perubahan Iklim
Pemerintah
Tak Lepas dari Ancaman, Bahan Kimia Abadi Ditemukan di Hewan Laut
Tak Lepas dari Ancaman, Bahan Kimia Abadi Ditemukan di Hewan Laut
LSM/Figur
Kemenhut Bantah Tudingan Bupati Tapsel soal Beri Izin Penebangan Hutan Sebelum Banjir
Kemenhut Bantah Tudingan Bupati Tapsel soal Beri Izin Penebangan Hutan Sebelum Banjir
Pemerintah
SCG Pangkas Emisi lewat Semen Rendah Karbon dan Efisiensi Energi
SCG Pangkas Emisi lewat Semen Rendah Karbon dan Efisiensi Energi
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau