Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/04/2024, 14:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Krisis iklim bisa membuat dunia boncos 38 triliun dollar AS atau sekitar Rp 614 kuadriliun per tahun pada 2050.

Kerugian tersebut disebabkan untuk mengongkosi berbagai dampak kerusakan akibat krisis iklim untuk berbagai sektor seperti pertanian, infrastruktur, produktivitas, dan kesehatan.

Temuan tersebut didasarkan asesmen yang dilakukan oleh Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) yang didukung Pemerintah Jerman.

Baca juga: Krisis Iklim Makin Parah, 53 Negara Alami Pemutihan Terumbu Karang Massal

Ini berarti, kerugian tersebut setara 30 kali lipat dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2023 yang mencapai Rp 20.892 triliun atau sekitar Rp 20 kuadriliun menurut data Kementerian Perdagangan.

PIK menyebutkan, estimasi kerugian tersebut hampir pasti akan meningkat karena aktivitas manusia menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca (GRK), penyebab utama krisis iklim.

Laporan tersebut juga memperkirakan bahwa perubahan iklim akan mengurangi 17 persen PDB perekonomian global pada pertengahan abad ini.

Peneliti PIK Leonie Wenz mengatakan, karena perubahan iklim pula, orang-orang di seluruh dunia kini rata-rata menjadi lebih miskin.

"Lebih sedikit biaya yang harus kita keluarkan untuk melindungi iklim dibandingkan tidak melakukan hal tersebut," kata Wenz sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (17/4/2023).

Baca juga: Penanganan Krisis Iklim Butuh Terobosan Pendanaan

Studi itu menyebutkan, daripada merugi ratusan ribu triliun dollar AS, biaya untuk mengurangi emisi GRK guna mencegah krisis iklim sebenarnya jauh lebih murah.

Contohnya, memensiunkan bahan bakar fosil secara bertahap dan menggantinya dengan energi terbarukan "hanya" memerlukan 6 triliun dollar AS atau Rp 97 kuadriliun.

Biaya tersebut hanya sekitar 15 persen dari total estimasi kerugian yang diakibatkan krisis iklim pada 2050.

Meskipun penelitian-penelitian sebelumnya menyimpulkan perubahan iklim dapat memberikan manfaat bagi perekonomian beberapa negara, penelitian PIK menemukan hampir semua negara akan terkena dampaknya.

Dan negara-negara miskin dan berkembang adalah kelompok yang paling terkena dampak perubajan iklim.

Baca juga: PBB: Tersisa 2 Tahun Selamatkan Bumi dari Krisis Iklim

Di sisi lain, PIK menilai negara-negara di dunia hanya menganggarkan dana sangat sedikit untuk mengekang emisi GRK.

PIK juga menilai, negara-negara di dunia juga mengeluarkan dana yang terlalu sedikit untuk melakukan upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Untuk penelitian ini, para peneliti mengamati data suhu dan curah hujan di lebih dari 1.600 wilayah selama 40 tahun terakhir, dan mempertimbangkan peristiwa mana yang menimbulkan kerugian.

Mereka kemudian menggunakan penilaian kerusakan tersebut, bersama dengan proyeksi model iklim, untuk memperkirakan kerusakan di masa depan.

Jika emisi terus berlanjut seperti saat ini ,dan suhu rata-rata global meningkat melebihi 4 derajat celsius, perkiraan kerugian ekonomi setelah tahun 2050 adalah hilangnya pendapatan sebesar 60 persen pada 2100.

Baca juga: Krisis Air dan Perubahan Iklim Jadi Ancaman Dunia, Perlu Kolaborasi

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Indonesia Krisis Anggaran Kontrasepsi, Cuma Cukup Sampai September 2025
Indonesia Krisis Anggaran Kontrasepsi, Cuma Cukup Sampai September 2025
Pemerintah
Badan Geologi Temukan Lokasi Layak untuk Relokasi Korban Gempa
Badan Geologi Temukan Lokasi Layak untuk Relokasi Korban Gempa
Pemerintah
Menteri LH: Kampung Samtama Jakpus Contoh Pengelolaan Sampah Berbasis Warga
Menteri LH: Kampung Samtama Jakpus Contoh Pengelolaan Sampah Berbasis Warga
Pemerintah
Dorong Daur Ulang Plastik di Sekolah, Mesin Penukar Sampah Pertama Hadir di Sukabumi
Dorong Daur Ulang Plastik di Sekolah, Mesin Penukar Sampah Pertama Hadir di Sukabumi
LSM/Figur
Bertemu Raja Inggris, Menteri LH Bahas Komitmen RI Lindungi Biodiversitas
Bertemu Raja Inggris, Menteri LH Bahas Komitmen RI Lindungi Biodiversitas
Pemerintah
Transisi Energi Indonesia: Hijau dalam Narasi, Abu-abu dalam Praktik
Transisi Energi Indonesia: Hijau dalam Narasi, Abu-abu dalam Praktik
LSM/Figur
Cek Kesehatan Gratis Masuk Desa, Periksa 133 Warga di Cipelah
Cek Kesehatan Gratis Masuk Desa, Periksa 133 Warga di Cipelah
Pemerintah
Kurangi E-Waste, UE Terapkan Sistem Pelabelan Ponsel Anyar
Kurangi E-Waste, UE Terapkan Sistem Pelabelan Ponsel Anyar
Pemerintah
Membangun Tanpa Merusak, Masyarakat Adat Aru Raih Penghargaan Kelas Dunia
Membangun Tanpa Merusak, Masyarakat Adat Aru Raih Penghargaan Kelas Dunia
LSM/Figur
2025 World Investment Report: Kesenjangan Investasi SDG Kian Melebar
2025 World Investment Report: Kesenjangan Investasi SDG Kian Melebar
Pemerintah
Menteri LH: Jakarta Butuh 5 PLTSa jika Ingin Masalah Sampah Selesai
Menteri LH: Jakarta Butuh 5 PLTSa jika Ingin Masalah Sampah Selesai
Pemerintah
KLH Perkuat Regulasi Sampah, Sebut yang Pertanyakan Insentif Tak Tanggung Jawab
KLH Perkuat Regulasi Sampah, Sebut yang Pertanyakan Insentif Tak Tanggung Jawab
Pemerintah
PLTA Dunia Kembali Menggeliat, Didorong Pompa Penyimpan Energi
PLTA Dunia Kembali Menggeliat, Didorong Pompa Penyimpan Energi
LSM/Figur
Ancaman Krisis Besar di Balik Kasus Tesso Nilo
Ancaman Krisis Besar di Balik Kasus Tesso Nilo
Pemerintah
Greenpeace: Baru 50 dari 5000 Produsen Setor Peta Jalan Pengurangan Sampah
Greenpeace: Baru 50 dari 5000 Produsen Setor Peta Jalan Pengurangan Sampah
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau