KOMPAS.com - Krisis iklim bisa membuat dunia boncos 38 triliun dollar AS atau sekitar Rp 614 kuadriliun per tahun pada 2050.
Kerugian tersebut disebabkan untuk mengongkosi berbagai dampak kerusakan akibat krisis iklim untuk berbagai sektor seperti pertanian, infrastruktur, produktivitas, dan kesehatan.
Temuan tersebut didasarkan asesmen yang dilakukan oleh Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) yang didukung Pemerintah Jerman.
Baca juga: Krisis Iklim Makin Parah, 53 Negara Alami Pemutihan Terumbu Karang Massal
Ini berarti, kerugian tersebut setara 30 kali lipat dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2023 yang mencapai Rp 20.892 triliun atau sekitar Rp 20 kuadriliun menurut data Kementerian Perdagangan.
PIK menyebutkan, estimasi kerugian tersebut hampir pasti akan meningkat karena aktivitas manusia menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca (GRK), penyebab utama krisis iklim.
Laporan tersebut juga memperkirakan bahwa perubahan iklim akan mengurangi 17 persen PDB perekonomian global pada pertengahan abad ini.
Peneliti PIK Leonie Wenz mengatakan, karena perubahan iklim pula, orang-orang di seluruh dunia kini rata-rata menjadi lebih miskin.
"Lebih sedikit biaya yang harus kita keluarkan untuk melindungi iklim dibandingkan tidak melakukan hal tersebut," kata Wenz sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (17/4/2023).
Baca juga: Penanganan Krisis Iklim Butuh Terobosan Pendanaan
Studi itu menyebutkan, daripada merugi ratusan ribu triliun dollar AS, biaya untuk mengurangi emisi GRK guna mencegah krisis iklim sebenarnya jauh lebih murah.
Contohnya, memensiunkan bahan bakar fosil secara bertahap dan menggantinya dengan energi terbarukan "hanya" memerlukan 6 triliun dollar AS atau Rp 97 kuadriliun.
Biaya tersebut hanya sekitar 15 persen dari total estimasi kerugian yang diakibatkan krisis iklim pada 2050.
Meskipun penelitian-penelitian sebelumnya menyimpulkan perubahan iklim dapat memberikan manfaat bagi perekonomian beberapa negara, penelitian PIK menemukan hampir semua negara akan terkena dampaknya.
Dan negara-negara miskin dan berkembang adalah kelompok yang paling terkena dampak perubajan iklim.
Baca juga: PBB: Tersisa 2 Tahun Selamatkan Bumi dari Krisis Iklim
Di sisi lain, PIK menilai negara-negara di dunia hanya menganggarkan dana sangat sedikit untuk mengekang emisi GRK.
PIK juga menilai, negara-negara di dunia juga mengeluarkan dana yang terlalu sedikit untuk melakukan upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Untuk penelitian ini, para peneliti mengamati data suhu dan curah hujan di lebih dari 1.600 wilayah selama 40 tahun terakhir, dan mempertimbangkan peristiwa mana yang menimbulkan kerugian.
Mereka kemudian menggunakan penilaian kerusakan tersebut, bersama dengan proyeksi model iklim, untuk memperkirakan kerusakan di masa depan.
Jika emisi terus berlanjut seperti saat ini ,dan suhu rata-rata global meningkat melebihi 4 derajat celsius, perkiraan kerugian ekonomi setelah tahun 2050 adalah hilangnya pendapatan sebesar 60 persen pada 2100.
Baca juga: Krisis Air dan Perubahan Iklim Jadi Ancaman Dunia, Perlu Kolaborasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya