KOMPAS.com - Sejak awal 2023, setidaknya 53 negara mengalami pemutihan terumbu karang massal akibat kenaikan suhu laut yang dipicu perubahan iklim.
Laporan tersebut disampaikan badan kelautan dan atmosfer AS yaitu National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan koalisi internasional International Coral Reef Initiative (ICRI).
NOAA dan ICRI menuturkan, dunia sedang mengalami peristiwa pemutihan terumbu karang global yang keempat, yang kedua dalam sepuluh tahun terakhir.
Baca juga: Dunia di Ambang Pemutihan Terumbu Karang Massal Keempat karena Perubahan Iklim
"Dari Februari 2023 hingga April 2024, pemutihan karang yang signifikan telah didokumentasikan di Belahan Bumi Utara dan Selatan di setiap cekungan laut utama," kata Koordinator Coral Reef Watch (CRW) NOAA Derek Manzello, sebagaimana dilansir Earth.org, Senin (15/4/2024).
Pemutihan karang secara massal tersebut terkait langsung dengan kenaikan suhu permukaan laut.
Bulan lalu, suhu permukaan laut mencapai rekor tertinggi yakni 21,07 derajat celsius, suhu bulanan tertinggi sejak pencatatan dimulai.
Pada 2023, suhu laut naik karena fenomena alami El Nino yaitu siklus menghangatnya suhu permukaan air di Samudra Pasifik bagian tengah.
Akan tetapi, meski El Nino mulai melemah pada 2024, suhu permukaan laut tetap mengalami tren kenaikan.
Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research Profesor Johan Rockstrom mengatakan, apa yang terjadi pada tahun 2023 tidak jauh berbeda dengan tahun 2016, tahun terpanas kedua yang pernah tercatat.
"Dan kemudian tahun 2024 dimulai, dan cuaca menjadi lebih hangat. Kami belum dapat menjelaskan (tren) ini dan hal ini membuat para ilmuwan yang berfokus tentang Bumi seperti saya menjadi sangat gugup," kata Rockstrom kepada Earth.org.
Baca juga: PBB Jajaki Mekanisme Asuransi Terumbu Karang di Kepulauan Gili
Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting yang tersebar di lebih dari 100 negara dan wilayah dan mendukung setidaknya 25 persen spesies laut.
Terumbu karang juga merupakan bagian integral dalam mempertahankan jaringan keanekaragaman hayati laut yang luas dan saling terhubung serta memberikan jasa ekosistem senilai hingga 9,9 triliun dollar AS setiap tahunnya.
Terkadang, terumbu karang disebut sebagai "hutan hujannya lautan" karena kemampuannya sebagai penyerap karbon dengan menyerap kelebihan karbon dioksida di dalam air.
Sayangnya, terumbu karang kini menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.
Menurut laporan terbaru dari Global Coral Reef Monitoring Network (GCRMN), dunia telah kehilangan sekitar 14 persen terumbu karang sejak 2009.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya