Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsumsi Antibiotik Manusia Naik 65 Persen, Sungai Makin Tercemar

Kompas.com - 23/04/2025, 14:20 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com - Jumlah antibiotik yang digunakan manusia mengalami kenaikan signifikan yaitu sebesar 65 persen dalam kurun waktu 15 tahun (dari 2000 hingga 2015).

Hal yang tidak banyak orang ketahui, ketika antibiotik masuk ke dalam tubuh manusia, tidak semua senyawa obat tersebut bisa tercerna atau dihilangkan oleh sebagian besar fasilitas pengolahan air limbah.

Ini menurut studi yang dipublikasikan di PNAS Nexus berpotensi menyebabkan timbulnya polusi di lingkungan, salah satunya di sungai.

Studi yang dilakukan Heloisa Ehat dan rekan-rekannya dari McGill University, Montreal, Kanada memperkirakan manusia di seluruh dunia mengonsumsi sekitar 29.200 ton dari 40 jenis antibiotik yang paling sering digunakan.

Baca juga: AS Keluar dari Pembicaraan Penting soal Pengurangan Polusi Kapal Laut

Setelah melalui proses metabolisme dalam tubuh dan pengolahan di fasilitas air limbah, diperkirakan sekitar 8.500 ton (29 persen dari total konsumsi) dapat mencapai sistem sungai di seluruh dunia.

Sementara 3.300 ton (11 persen) kemungkinan akan mencapai di lautan atau penampungan air pedalaman seperti danau atau waduk.

Para peneliti, seperti dilansir dari Phys, Selasa(22/4/2025) menghitung angka-angka tersebut dengan menggunakan model yang divalidasi oleh data konsentrasi terukur dari 21 jenis antibiotik di 877 lokasi di seluruh dunia.

Meskipun jumlah total residu antibiotik ini menghasilkan konsentrasi yang sangat kecil di sebagian besar sungai, yang membuat obat-obatan ini sangat sulit dideteksi, paparan kronis terhadap zat-zat ini di lingkungan tetap dapat menimbulkan risiko.

Antibiotik di sungai dan danau dapat mengurangi keanekaragaman mikroba, meningkatkan keberadaan gen resistensi antibiotik, dan mungkin berdampak pada kesehatan ikan dan alga.

Peneliti juga memperkirakan bahwa pada kondisi aliran sungai yang rendah, tingkat antibiotik di sekitar 6 juta kilometer sungai di seluruh dunia cukup tinggi untuk menimbulkan risiko yang signifikan.

Risiko ini mencakup gangguan ekosistem perairan secara umum dan peningkatan risiko perkembangan resistensi antibiotik di lingkungan tersebut.

Perairan dengan konsentrasi antibiotik tinggi sendiri ditemukan di seluruh benua, dengan wilayah yang paling terdampak berlokasi di Asia Tenggara.

Baca juga: Polusi Udara Paris Turun 50 Persen Usai Prioritaskan Penggunaan Sepeda

Amoxicillin adalah antibiotik yang paling sering diprediksi berada pada konsentrasi berisiko tinggi dan merupakan antibiotik yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia.

Para peneliti mengakui bahwa model mereka saat ini hanya fokus pada kontribusi konsumsi antibiotik oleh manusia terhadap polusi sungai.

Mereka belum memasukkan dua sumber potensial kontaminasi antibiotik lainnya yang signifikan yakni yang diberikan pada hewan ternak dan limbah farmasi.

Namun, hasil studi mereka menunjukkan bahwa polusi antibiotik di sungai yang berasal dari konsumsi manusia saja sudah merupakan masalah yang kritis, yang kemungkinan akan diperburuk oleh sumber senyawa terkait dari sektor veteriner atau industri.

Peneliti pun menyebut program pemantauan dan strategi untuk mengelola kontaminasi antibiotik di perairan, terutama di daerah-daerah yang berisiko sangat diperlukan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Kemenkeu Sebut APBN Gelontorkan Rp 610,12 Triliun untuk Aksi Iklim

Kemenkeu Sebut APBN Gelontorkan Rp 610,12 Triliun untuk Aksi Iklim

Pemerintah
Indonesia Bisa Ciptakan 2 Juta Green Jobs jika Jadi Hub Produksi EV

Indonesia Bisa Ciptakan 2 Juta Green Jobs jika Jadi Hub Produksi EV

Swasta
Indonesia Bisa Jadi Pemasok Besar Hidrogen Hijau Dunia, Begini Strateginya

Indonesia Bisa Jadi Pemasok Besar Hidrogen Hijau Dunia, Begini Strateginya

LSM/Figur
Sebar Kurban di Pelosok Maluku, Human Initiative Hadirkan Harapan untuk Warga

Sebar Kurban di Pelosok Maluku, Human Initiative Hadirkan Harapan untuk Warga

Advertorial
Mangrove Rumah bagi 700 Miliar Satwa Komersial, Kerusakannya Picu Krisis

Mangrove Rumah bagi 700 Miliar Satwa Komersial, Kerusakannya Picu Krisis

LSM/Figur
Ekspansi Pembangkit Listrik Gas Dikhawatirkan Bikin Energi Terbarukan Jalan di Tempat

Ekspansi Pembangkit Listrik Gas Dikhawatirkan Bikin Energi Terbarukan Jalan di Tempat

LSM/Figur
97 Persen Pemimpin Perusahaan Global Desak Transisi Listrik Terbarukan

97 Persen Pemimpin Perusahaan Global Desak Transisi Listrik Terbarukan

Swasta
PLN Mengaku Siap Kaji Pensiun Dini PLTU Batu Bara

PLN Mengaku Siap Kaji Pensiun Dini PLTU Batu Bara

Pemerintah
Konsumen dan Investor akan Semakin Kritis terhadap 'Sustainability Washing'

Konsumen dan Investor akan Semakin Kritis terhadap "Sustainability Washing"

Swasta
Perusahaan yang Gabungkan AI dan Keberlanjutan Raih Keuntungan Lebih Tinggi

Perusahaan yang Gabungkan AI dan Keberlanjutan Raih Keuntungan Lebih Tinggi

Swasta
MIND ID-PT Timah Kembangkan Proyek Logam Tanah Jarang

MIND ID-PT Timah Kembangkan Proyek Logam Tanah Jarang

BUMN
KKP Rilis Panduan untuk Selamatkan 30 Persen Laut Indonesia

KKP Rilis Panduan untuk Selamatkan 30 Persen Laut Indonesia

Pemerintah
RI harus Selesaikan Isu 'Sustainability' Agar Produk Nikel Tembus Pasar Negara Maju

RI harus Selesaikan Isu "Sustainability" Agar Produk Nikel Tembus Pasar Negara Maju

Pemerintah
Perjanjian Paris Tanpa AS, Sekjen PBB: Transisi Energi Dunia Tak Terhentikan

Perjanjian Paris Tanpa AS, Sekjen PBB: Transisi Energi Dunia Tak Terhentikan

Pemerintah
Bagaimana agar Ambisi Indonesia Jadi Hub Produksi EV Terwujud?

Bagaimana agar Ambisi Indonesia Jadi Hub Produksi EV Terwujud?

Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau