KOMPAS.com - Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dalam laporannya Frontiers 2025: The Weight of Time memperingatkan bahwa peningkatan banjir sungai dan pesisir dapat membuat orang terpapar polutan beracun yang sudah lama terpendam di dalam air dan sedimen.
Bahan kimia berbahaya yang sudah lama mengendap di dasar sungai dan danau itu terdiri dari logam berat seperti timbal, kadmium, yang beracun bahkan pada konsentrasi rendah serta bahan kimia buatan yang sulit terurai seperti pestisida, bahan kimia sintetis, produk sampingan dari proses industri, dan pembakaran sampah.
Kedua kategori bahan kimia yang tidak mudah hancur itu rentan terakumulasi di lumpur serta berisiko tersebar oleh banjir, menyebarkannya ke berbagai tempat.
Baca juga: Lingkungan Kotor dan Banjir Picu Leptospirosis, Pakar: Ini Bukan Hanya Soal Tikus
Bahan kimia berbahaya ini bahkan juga tidak langsung menghilang dan bisa terus bertahan selama puluhan tahun.
Mengutip Down to Earth, Sabtu (12/7/2025) laporan UNEP selanjutnya menjelaskan pula, polutan ini dapat masuk ke rantai makanan dan menumpuk di dalam tubuh makhluk hidup, termasuk manusia.
Bahan-bahan itu sangat berbahaya dan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius, mulai dari kerusakan saraf dan organ hingga kanker.
UNEP memberikan contoh nyata saat Badai Harvey melanda Texas pada tahun 2017 memicu banjir yang melepaskan sejumlah besar sedimen. Sedimen ini membawa konsentrasi bahan kimia karsinogenik dan merkuri yang sangat tinggi ke area Teluk Galveston di Texas.
UNEP pun mendesak lebih banyak penelitian untuk menguji sedimen yang tercemar. Tujuannya adalah untuk memahami seberapa besar bahaya yang bisa ditimbulkan oleh banjir terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Apalagi makin banyak wilayah semakin sering terpapar banjir sungai dan banjir pesisir. Hal ini terjadi karena tren peningkatan intensitas dan besaran curah hujan yang terkait dengan badai tropis.
Selain masalah polutan lama, sumber polutan baru juga mengkhawatirkan. Contohnya, ada jutaan ton limbah bahan kimia organik yang sulit terurai dari produksi industri yang saat ini tersimpan di TPA di seluruh dunia.
Lebih lanjut, para ahli merekomendasikan perpaduan antara metode tradisional dan pendekatan baru untuk mengatasi banjir.
Baca juga: Cegah Banjir di Jabodetabek, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca 24 Jam
Caranya adalah dengan membangun infrastruktur yang terinspirasi alam, memulihkan ekosistem seperti hutan dan lahan basah, serta mendesain kota yang lebih cerdas dalam mengelola air.
Ahli juga merekomendasikan pendekatan yang lebih menyeluruh, yaitu membuat rencana pengelolaan daerah aliran sungai yang mampu menyeimbangkan upaya menahan banjir, menjaga kelestarian sungai, dan mengelola semua kebutuhan air.
Selain itu, UNEP menekankan perlunya pemantauan polutan secara rutin di setiap sungai karena badai makin parah.
Namun, pendekatan ini mengharuskan kita untuk terus-menerus memantau dan mengevaluasi kebijakan yang ada, lalu menyesuaikannya berdasarkan perkembangan ilmu terbaru.
Dan yang terpenting adalah melibatkan masyarakat lokal dan pengetahuan mereka dalam proses pemantauan dan pengambilan keputusan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya