KOMPAS.com - Bangunan gedung yang mengonsumsi energi lebih dari 500 tonne oil equivalent (TOE) atau setara 5.815 megawatt hour (MWh) akan diwajibkan menerapkan manajemen energi.
Direktur Konservasi Energi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Gigih Udi Atmo mengatakan, penerapan manajemen energi tersebut untuk mendorong upaya efisiensi energi.
"Manajemen energi dapat dilaksanakan dengan memiliki manajer energi, menyusun program efisiensi energi, melaksanakan audit energi secara berkala dan melaksanakan rekomendasi hasil audit energi," kata Gigih dalam Sosialisasi Hemat Energi Pengelola Gedung dan Masyarakat di sekitar Kantor Direktorat Jenderal EBTKE, Jumat (5/5/2023).
Baca juga: Hanya 60 Gedung di Indonesia yang Bersertifikat Greenship
Gigih menuturkan, semua aktivitas masyarakat modern membutuhkan energi, tak terkecuali di bangunan atau gedung, sebagaimana dilansir dari situs web Kementerian ESDM.
"Namun, penggunaannya juga menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi pada pemanasan global. Hal ini tentu menjadi perhatian kita agar penggunaan energi dapat dilakukan secara efisien," kata Gigih.
Pemerintah Indonesia menargetkan menurunkan konsumsi energi final sebesar 17 persen dari skenario Business-as-Usual (BAU) pada 2025 dan target penurunan emisi GRK 29 persen pada 2030.
Dari total konsumsi energi nasional, sebanyak 17 persen berasal dari rumah tangga dan 5 persen dari gedung-gedung komersial.
Baca juga: Gedung PMI di Sembilan Lokasi Bakal Dicat Ulang oleh Avian
Di sektor rumah tangga, pemakaian peralatan yang hemat energi diperlukan untuk efisiensi energi sehingga berdampak pada konsumsi energi nasional.
Pemerintah sudah menetapkan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) untuk berbagai peralatan rumah tangga seperti pendingin ruangan (AS), lampu LED, penanak nasi, lemari pendingin, dan kipas angin.
Peralatan lain seperti televisi, showcase, mesin cuci dan berbagai peralatan rumah tangga lain juga akan ditetapkan SKEM-nya.
"Bapak Ibu dapat memilih peralatan pemanfaat energi dengan melihat label tanda hemat energi dari jumlah bintang yang ditampilkan. Semakin banyak bintangnya semakin hemat energi peralatannya," ujarnya.
Gigih mengungkapkan, saat ini Indonesia sudah menjadi negara net-importir minyak, terutama karena konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di sektor transportasi sangat tinggi.
Baca juga: Central Market PIK, Fasilitas Ritel Pertama Peraih Sertifikat Bangunan Hijau
Ini menjadikan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Hal ini juga meningkatkan beban subsidi pemerintah, sehingga berpotensi mengurangi porsi belanja infrastruktur.
Gigih menuturkan, penggunaan kendaraan listrik bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada impor BBM.
Penggunaan kendaraan listrik juga membantu masyarakat untuk mengurangi pengeluaran, mengingat biaya operasional kendaraan listrik jauh lebih rendah dari kendaraan BBM.
Berdasarkan studi yang dilakukan, biaya BBM untuk operasional sepeda motor selama satu bulan dengan asumsi konsumsi pertalite 25 liter adalah sebesar Rp 250.000.
Sementara itu, operasional sepeda motor listrik selama satu bulan dengan asumsi konsumsi 25 kWh dan biaya listrik Rp 1.450 kWh, biayanya hanya sebesar Rp 36.250.
Baca juga: Kantor JLL Indonesia Diganjar Sertifikat Bangunan Hijau LEED Gold
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya