KOMPAS.com – Para aktivis lingkungan dari sejumlah kelompok mendesak negara-negara G7 menyetop dukungan pendanaan energi fosil dan solusi palsu transisi energi.
Mereka menggelar aksi di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Jumat (19/2023), bertepatan dengan KTT G7 di di Hiroshima, Jepang.
Team Lead 350 Indonesia Sisila Nurmala Dewi mengatakan, G7 sudah seharusnya menyetop solusi palsu transisi energi dalam skema pendanaan transisi energi dalam bentuk apa pun di Indonesia.
Baca juga: Berbicara di KTT G7, Jokowi Ajak Pemimpin Negara Hentikan Perang
Sisil mencontohkan skema pendanaan yang dia maksud seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Asia Zero Emission Community (AZEC).
“Bila skema pembiayaan-pembiayaan transisi energi justru membiayai solusi palsu, dapat dipastikan transisi energi di Indonesia akan jalan di tempat atau bahkan gagal,” ucap Sisil dalam siaran pers bersama.
Dia menambahkan, rakyat Indonesia harus memastikan skema pembiayaan seperti JETP, AZEC, dan lainnya benar-benar menuju transisi energi yang bersih, adil, dan lestari.
“Pembiayaan solusi palsu akan mengagalkan cita-cita transisi energi di Indonesia dan memperparah krisis iklim” ucap Sisil.
Di sisi lain, terjadi ketimpangan kucuran antara proyek energi fosil dengan energi terbarukan dari G7.
Baca juga: Jokowi di KTT G7: Bukan Zamannya Lagi Negara Berkembang Hanya Jadi Pengekspor Bahan Mentah
Indri Juru Kampanye Trend Asia Novita Indri menyampaikan, laporan terbaru menunjukkan bahwa G7 masih mengucurkan pendanaan untuk energi fosil sebanyak 73 miliar dollar AS untuk periode 2020 dan 2022.
Jumlah tersebut 2,6 kali lebih banyak dibandingkan untuk energi terbarukan yang hanya mencapai 28,6 miliar dollar AS di periode yang sama.
“Hal ini menunjukkan bahwa komitmen anggota G7 untuk lepas dari pengunaan dan pendanaan energi fosil seperti gas dan masih setengah hati,” jelas Novita.
Dia menambahkan, usulan Kementerian ESDM agar pembangkit listrik berbahan gas alam yang dicairkan (LNG) untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel untuk didanai oleh JETP harus ditolak oleh negara-negara G7 sebagai donornya.
“Negara-negara G7 harus memastikan Indonesia pada jalur energi terbarukan yang sebenarnya. Mengabulkan dan memberi napas panjang pada energi fosil seperti usulan Kementerian ESDM untuk gasifikasi, co-firing, amonia, atau hidrogen, artinya transisi energi menemui kegagalan,” kata Novita.
Baca juga: Zelensky Bertemu Jokowi di KTT G7
Sementara itu, Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Abdul Ghofar berujar, negara-negara G7 harus memperbesar komposisi hibah, bukannya utang, dalam skema pendanaan transisi energi di Indonesia.
“Negara-negara G7 sebagai negara maju memiliki rekam dan sejarah jejak karbon yang lebih besar daripada negara-negara berkembang seperti Indonesia, maka tidak seharusnya mereka membuat jebakan utang baru kepada negara-negara berkembang atas nama pembiayaan transisi energi,” ungkap Ghofar.
“Saat ini untuk membayar utang luar negeri dari negara maju dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB (Asian Development Bank), pemerintah Indonesia masih bergantung pada corak produksi ekstraktif, itu artinya kerusakan lingkungan dan pelepasan emisi karbon skala besar masih akan terus terjadi,” lanjut Ghofar.
Koordinator Enter Nusantara Azka Wafi menuturkan, keselamatan anak-anak muda di seluruh dunia akan terancam jika negara-negara kaya seperti G7 memilih keputusan yang salah.
“Jawaban sudah jelas bahwa kita harus segera mengentikan penggunaan fosil seperti batu bara, gas, minyak, nuklir atau solusi palsu lainnya. Pilihan energi terbarukan sudah tersedia dan murah. Komitmen-komitmen penghentian batu bara di 2030 harus terjadi,” kata Azka.
Baca juga: Jokowi dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy Reunian di Sela-sela KTT G7
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya