KOMPAS.com - Potensi energi terbarukan di luar Jawa dan Bali dinilai sangat besar, terutama di wilayah Indonesia timur.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan, pengembangan energi terbarukan di luar Jawa dan Bali memiliki peluang yang sangat besar.
Bila potensi energi terbarukan di luar Jawa dan Bali dioptimalkan, bisa menyumbang sampai 70 persen dari bauran energi terbarukan di Indonesia.
Baca juga: Potensi Energi Terbarukan Jawa Tengah
"Terutama di Indonesia timur seperti Papua, NTT (Nusa Tenggara Timur), Sulawesi, masih banyak peluang untuk melakukan investasi," kata Artur dalam peluncuran laporan Delivering Indonesia’s Power Sector Transition oleh lembaga think tank Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta pada Selasa (30/5/2023).
Dia menambahkan, investasi energi terbarukan di luar Jawa dan Bali diprediksi bisa mencapai antara 20 miliar dollar AS hingga 40 miliar dollar AS pada 2060.
Di sisi lain, potensi pengembangan energi terbarukan di Jawa dan Bali tinggal sedikit, antara 16 persen hingga 17 persen dari bauran energi terbarukan.
Dengan adanya potensi sebesar itu, perlu terobosan visi untuk skema transisi energi supaya tercipta industri dan lanskap baru yang saling menguntungkan.
Baca juga: Laporan Keberlanjutan 2022 Antar Multi Bintang Dekati 100 Persen Energi Terbarukan
Urgensi pengembangan energi terbarukan di Indonesia terus digaungkan oleh berbagai pihak demi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai emisi nol karbon atau net zero emission (NZE) yang lebih ambisius.
Terutama setelah Indonesia mendapatkan sejumlah skema pendanaan, salah satunya Just Energy Transition Partnership (JETP).
Pendanaan JETP bertujuan untuk mencapai target emisi puncak dari sektor ketenagalistrikan sebesar 290 juta metrik ton karbon dioksida pada 2030 dan mencapai kontribusi energi terbarukan terhadap bauran energi primer sebesar 34 persen pada 2030.
Selain itu, JETP menargetkan sektor ketenagalistrikan mencapai NZE pada 2050, lebih cepat 10 tahun dari target Indonesia sebelumnya yaitu 2060.
Untuk mencapai target tersebut, sorotan utama diarahkan pada pengakhiran dan pembatalan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar.
Baca juga: Potensi Energi Terbarukan di Indonesia dan Pengembangannya
Direktur IESR Fabby Tumiwa mengatakan, pembatalan proyek PLTU batu bara menjadi cara paling cerdas untuk memangkas emisi GRK di Indonesia.
Dia menuturkan, setidaknya ada tiga alasan kuat mengapa pembatalan proyek PLTU batu bara efektif untuk memangkas emisi GRK.
Pertama, pembatalan proyek PLTU batu bara tidak akan mengganggu ketahanan energi dan keterjangakauan energi listrik.
Kedua, cara paling murah dibandingkan intervensi lain untuk mengurangi emisi GRK dari PLTU batu bara seperti co-firing atau pencampuran dengan biomassa dan pensiun dini pembangkit yang ada.
Ketiga, memberikan PT PLN kesempatan mengembangan energi terbarukan dan mengurangi biaya sistem ketenagalistrikan.
Baca juga: Cari Investor untuk Energi Terbarukan, Ridwan Kamil Terbang ke Amerika Serikat
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya