JAKARTA, KOMPAS.com - Mana yang lebih berdampak buruk bagi lingkungan, memelihara anabul anjing/kucing, atau melancong ke berbagai negara dunia dengan jet pribadi?
Pertanyaan ini mengemuka setelah CEO Luxaviation, Patrick Hanson, berbicara pada KTT FT Business of Luxury, Mei 2023 lalu.
Menurut Hanson, bos maskapai penerbangan mewah yang berbasis di Luksemburg, memelihara anabul sama mencemarinya dengan menggunakan jet pribadi.
Dia mengeklaim, satu penumpang pesawat menghasilkan rata-rata 2,1 ton karbon dioksida (CO2) per tahun yang jumlahnya setara dengan memiliki tiga anjing.
"Haruskah kita mempertimbangkan kembali memiliki hewan peliharaan demi lingkungan?"
Baca juga: Menyusul Belanda, Perancis Bakal Larang Penerbangan Jet Pribadi
Sebagaimana diketahui, menurut riset terbaru, sekitar 90 juta rumah tangga di Uni Eropa, dan 33 persen di seluruh dunia adalah pemilik anabul (terutama anjing).
Perkiraan Hanson berasal dari kalkulator jejak karbon tahun 2020 yang dibuat oleh Mike Berners Lee.
Sementara organisasi lingkungan Greenpeace memperkirakan bahwa jet pribadi telah mengeluarkan total 5,3 juta ton CO2 dalam tiga tahun terakhir, dengan jumlah penerbangan meroket dari hampir 119.000 pada tahun 2020 menjadi 573.000 pada tahun 2022.
Ada juga variabilitas besar dalam kepemilikan hewan peliharaan, yang membuat perbandingan jet pribadi seperti milik Hanson dipertanyakan alias tidak dapat diandalkan.
Namun memang benar, jumlah rumah tangga pemilik hewan peliharaan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023, 66 persen rumah tangga Amerika Serikat memiliki hewan pendamping: naik 10 persen selama 35 tahun dari 56 persen pada tahun 1988.
Jadi, bagaimana kita bisa memastikan bahwa anabul telah merusak lingkungan dan memengaruhi emisi?
Faktor penting untuk dipertimbangkan dalam dampak lingkungan dari kepemilikan anabul adalah pilihan makanannya.
Baca juga: Siap-siap, Jet Pribadi Tak Bisa Lagi Mendarat di Schiphol Amsterdam
Menurut survei tentang konsumsi global makanan hewani, ada banyak variasi makanan yang berbeda tiap-tiap negara.
Di Amerika Serikat, salah satu pasar makanan hewan terbesar di dunia, sebagian besar hewan peliharaan diberi makan ayam.
Sementara Spanyol menyukai daging sapi, ikan, dan ayam serta makanan basah campuran untuk anabulnya.
Ada pun Perancis, lebih menyukai berbagai pilihan, sedangkan konsumen di Yunani dan Republik Ceko cenderung memilih daging sapi untuk anjingnya.
Penelitian tentang dampak lingkungan dari makanan hewan memang masih sangat terbatas, tetapi memilih makanan dengan kandungan daging yang lebih rendah dinilai bisa mengurangi emisi.
Sebuah studi tahun 2022 menyimpulkan bahwa memberi makan 10 kilogram makanan basah anjing menghasilkan 6.541kg emisi CO2 setiap tahun.
Memilih makanan kering untuk anjing yang sama mengurangi emisi tersebut menjadi 828 kilogram CO2.
Baca juga: Jet Pribadi Bakal Dilarang Mendarat di Schiphol Tahun 2026
Pasar makanan hewan semakin dipenuhi alternatif berkelanjutan, seperti makanan yang terbuat dari serangga dan bahan nabati.
Mengurangi jumlah daging dalam makanan hewan peliharaan akan berdampak positif bagi lingkungan.
Bagaimana memilih hewan peliharaan yang tepat untuk lingkungan, dan memastikan bahwa hewan peliharaan sesuai untuk lingkungan lokal kita, juga penting.
Karena kucing dan anjing dapat memengaruhi satwa liar melalui perburuan dan gangguan makhluk lokal lainnya. Jadi, sangat penting untuk menghormati ekosistem di sekitar kita.
Memilih ras yang sesuai dengan iklim kita, serta ras yang tidak tumbuh melebihi lingkungannya, membantu mengurangi kebutuhan untuk berjalan atau makan secara berlebihan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya