Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/06/2023, 19:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak kemarau sebagai dampak dari El Nino akan terjadi pada September, Oktober dan November.

Dampak dari El Nino salah satunya adalah kenaikan harga bahan pakan ternak seperti jagung, yang akan mengakibatkan meningkatnya harga produk perunggasan.

Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Timbul Sihombing mengungkapkan, industri pakan ternak memerlukan terobosan dan inovasi untuk mengatasi lonjakan harga jagung.

Salah satunya adalah dengan memanfaatkan sumber bahan baku alternatif. Dia mencontohkan Pemerintah Korea yang memperkenalkan produk lalat hitam sebagai bahan baku pakan ternak.

"Di sana sudah menjadi industri, bayangkan lalat yang kecil-kecil itu sudah diproduksi ton-tonan dan mereka sudah punya asosiasi,” kata Timbul dalam webinar El Nino Datang Lagi: Bagaimana Antisipasi Sektor Pertanian dan Perunggasan,” di Jakarta, Selasa (20/6/2023).

Baca juga: El Nino Bikin Potensi Kebakaran Hutan Berlipatganda

Meski harganya, kata Timbul, namun dengan kandungan protein 40-50 persen maka lalat hitam bisa menjadi alternatif sumber protein pengganti bahan pakan ternak yang lain.

Pemerintah Korea sangat mendukung semua pelaku industri untuk menggunakan lalat hitam sebagai alternatif bahan baku pakan. Saat ini, lalat hitam sudah diproduksi berton-ton dan dijual ke sejumlah perusahaan.

“Harganya memang masih mahal sekitar 3-5 dolar AS, tapi ini bisa menjadi alternatif. Meskipun tidak akan menggantikan bahan baku pakan ternak, tapi bisa menjadi substitusi sebagian,” jelas Timbul.

Substitusi bahan pakan ternak lainnya adalah nasi pecah, mie pecah dan biskuit pecah.

Menurut Timbul, industri pakan ternak sejatinya sudah mulai mencari substitusi bahan baku pakan karena harga jagung pada triwulan pertama 2023 mulai naik.

Kendati jagung masih menjadi bahan utama pakan ternak yaitu sekitar 40-50 persen, namun kenaikan harganya tentu akan membuat biaya produksi pakan ternak ikut melonjak.

Apalagi, pemerintah sudah melarang impor jagung sejak 2016 lalu. Faktor itulah yang membuat industri pakan ternak mulai mencari alternatif bahan baku pakan.

Antisipasi dampak El Nino

Pemerintah sendiri melalui Kementerian Pertanian sudah mengantisipasi dampak El Nino tahun ini.

Pengawas Mutu Hasil Pertanian (PMHP) Muda, Direktorat Serealia Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian  Devied Apriyanto Sofyan mengatakan, pihaknya sudah memetakan daerah rawan kekeringan dan pemantauan kondisi iklim harian.

Baca juga: Jaringan Neural Diklaim Bisa Prediksi El Nino hingga 1,5 Tahun ke Depan

Daerah tesebut dibagi menjadi tiga zona yaitu hijau, kuning dan merah. Untuk daerah zona hijau, pemerintah akan melakukan pengawasan dan pengawalan serta antisipasi terjadi kekurangan air.

Sementara daerah zona kuning, pemerintah akan membangun dan memperbaiki embung, biopori, DAM, parit dan lain-lain untuk peningkatan ketersedian air irigasi.

"Sedangkan untuk daerah zona merah, pemerintah akan menyiapkan sumur dalam untuk irigasi, diversifikasi pangan untuk antisipasi dampak El Nino dan mengoptimalkan lahan sawah rawa,” kata Devied.

Guru Besar IPB yang juga Ketua Umum Assosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa menambahkan, dampak El Nino paling besar akan menimpa produksi padi.

Berdasarkan pengalaman El Nino pada 2015 dan 2019 lalu, para petani padi mulai beralih menanam jagung ketika terjadi musim kemarau panjang.

“Petani kita sebenarnya sudah adaptif terhadap cuaca. Apabila terjadi kemarau panjang maka petani akan beralih menanam yang tidak memerlukan banyak air seperti jagung. Ini yang membuat harga jagung pada saat ini yang hampir mencapai Rp 6.000 per kilogram,” kata tutur Andreas.

Baca juga: 7 Mitos Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Beserta Fakta Penyangkalnya

Peningkatan produksi bukan hanya tugas Kementerian Pertanian tapi juga Kementerian Keuangan. Karena, tarif impor pangan Indonesia untuk beberapa komoditas itu 0 persen. Ini membuat petani Indonesia harus berhadapan langsung dengan produk dari petani luar negeri.

“Harga produksi petani jangan sampai berbenturan dengan harga produksi pangan internasional sehingga petani bisa bergairah lagi untuk menanam komoditas pangan,” pungkas Andreas.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau