KOMPAS.com – Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia melakukan transformasi sektor ketenagalistrikan untuk mencapai net zero emission (NZE) atau nol emisi pada 2050.
Untuk diketahui, sektor energi adalah penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) global. Menurut Climate Watch, sektor energi menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen atau 71,5 persen dari total emisi GRK.
Sedangkan menurut laporan Ember Climate, Indonesia menempati urutan kesembilan penghasil emisi karbon dioksida terbesar dari sektor ketenagalistrikan di dunia, mencapai 193 juta ton karbon dioksida pada 2021.
Baca juga: Walhi: PLTU Captive di Smelter Nikel Jadi Ironi Transisi Energi
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara adalah penghasil emisi terbesar dari sektor ketenagalistrikan. Oleh karenanya, PLTU didesak agar dipensiunkan untuk mencapai nol emisi pada 2050.
Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan, pemensiunan PLTU batu bara di Indonesia menjadi hal yang penting untuk memangkas emisi secara signifikan.
“Sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton karbon dioksida pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 34 persen pada 2030,” ujar Deon dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (20/6/2023).
Deon menambahkan, target dalam JETP lebih tinggi bila dibandingkan kebijakan dan perencanaan yang sudah ditetapkan pemerintah Indonesia.
Baca juga: Walhi Sebut PLTU Captive Berdampak Buruk bagi Lingkungan dan Masyarakat
“Misalnya saja, target emisi mencakup sektor ketenagalistrikan secara keseluruhan dan juga bauran energi terbarukan yang 10 persen lebih tinggi dibandingkan dengan RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) 2021-2030 milik PLN,” ucap Deon.
“Artinya, untuk mencapai target tersebut dalam kurun waktu kurang lebih tujuh tahun, perlu transformasi tidak hanya di perencanaan sistem kelistrikan seperti penghentian operasi PLTU batu bara,” sambung Deon.
Dengan asumsi semua pembangkit, termasuk PLTU batu bara, yang direncanakan di dalam RUPTL 2021-2030 terbangun, IESR menghitung untuk mengejar target JETP, setidaknya sebanyak 8,6 gigawatt (GW) PLTU batu bara harus dipensiunkan sebelum 2030.
Langkah tersebut diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU batu bara sebelum 2040.
Dari sisi kebijakan, akselerasi pengembangan energi terbarukan juga harus terus didorong, sebagaimana rilis dari IESR.
Baca juga: Aksi Bersih Pantai Koala di Bangka, Sampahnya Dipilah untuk Woodchips PLTU
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan, sebagai salah satu negara ekonomi terbesar sekaligus penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia diharapkan menunjukan kepemimpinan dan komitmen dekarbonisasi di sektor energinya lewat kebijakan dan rencana transisi energi.
Komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus diterjemahkan ke dalam serangkaian kebijakan, regulasi dan rencana yang selaras, satu dengan lainnya.
“Ada indikasi bahwa komitmen politik Presiden Jokowi coba untuk dimentahkan dan didegradasi oleh sejumlah pihak yang enggan melakukan transisi energi, dan ujung-ujungnya ingin mempertahankan status quo, yaitu tidak mengurangi konsumsi batu bara dalam penyediaan listrik,” ucap Fabby.
“Untuk itu, Presiden harus mengamati dengan lebih rinci bahwa ada pihak-pihak yang enggan melakukan transisi energi dengan cepat dan mencoba menurunkan derajat ambisi pemerintah dan melakukan buying time (mengulur waktu) hingga mereka dapat mengubah keputusan politik tersebut,” imbuh Fabby.
Baca juga: Ini 12 PLTU yang Bisa Dipensiunkan Dini Tahun Ini
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya