KOMPAS.com - Indonesia perlu menyiapkan paket pembiayaan transisi energi yang komprehensif.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berujar, perekonomian sejumlah provinsi di Indonesia masih bergantung dari kegiatan pertambangan batu bara.
“Beberapa provinsi perlu kita perhatikan seperti Kalimantan Timur yang memproduksi 40 persen batu bara Indonesia, dan Sumatera Selatan yang memproduksi 15 persen,” ucap Fabby dalam diskusi panel bertajuk ASEAN Sustainable Energy Finance, Selasa (27/6/2023).
Baca juga: PLTU Batu Bara Didesak Dipensiunkan, Kejar Target Penurunan Emisi
“Kita perlu membangun kapasitas lokal untuk menghasilkan pendapatan dari sektor selain batu bara,” ucap Fabby sebagaimana dilansir dari rilis IESR.
Energi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi telah menjadi faktor kunci dalam kegiatan ekonomi sejak awal penambangan mineral fosil.
Namun, peralihan ke sistem energi yang lebih bersih membawa konsekuensi penurunan permintaan batu bara.
Perubahan ini menjadi ancaman serius bagi daerah yang perekonomiannya sangat bergantung pada batu bara.
Baca juga: Pangkas Emisi Batu Bara Jadi Kunci Capai Emisi Nol Karbon
Oleh karenanya, pendanaan seharusnya mencakup tidak hanya biaya teknis untuk pensiunnya armada batu bara, pengembangan energi terbarukan, dan peremajaan jaringan.
Akan tetapi, pendanaan juga mempersiapkan masyarakat, terutama mereka yang bekerja di industri pertambangan batu bara, untuk beradaptasi dengan pasar tenaga kerja baru.
Ini termasuk pelatihan ulang untuk menyelaraskan keterampilan mereka dengan kebutuhan pasar.
“Pemerintah pusat harus memberikan bantuan khusus bagi daerah yang sangat bergantung pada ekonomi batu bara,” ucap Fabby.
Baca juga: Pembatalan PLTU Batu Bara Efektif Pangkas Emisi, Ini Alasannya
Sementara itu, Penasihat Senior Lembaga Keuangan Asia Tenggara dari Financial Futures Center (FFC) Eunjoo Park-Minc sepakat bahwa pemerintah berperan penting dalam transisi energi.
Terutama dalam merancang kerangka kebijakan yang mendukung yang memungkinkan sektor swasta untuk berpartisipasi.
“Peran investor dalam masa transisi ini adalah mengembangkan mekanisme pembiayaan yang inovatif. Untuk membuatnya lebih katalistik, kita membutuhkan kerangka kebijakan yang mendukung untuk membuatnya bekerja,” ucap Eunjoo.
Eunjoo juga menyampaikan perlunya kerja sama internasional, karena sebagian besar proyek transisi energi berlangsung di negara berkembang sedangkan pembiayaan terutama berasal dari negara maju.
Baca juga: Populasi Gajah Sumatera di Bengkulu Terancam Tambang Batu Bara
Asian Development Bank (ADB) sebagai salah satu bank multilateral yang mendanai transisi energi menekankan pentingnya aspek keadilan. Hal ini dijelaskan oleh Veronica Joffre, Senior Gender and Social Development Specialist di ADB.
“Salah satu aspek ETM (energy transition mechanisms) adalah keadilan. Hal ini berarti potensi dampak sosial harus dikaji mendalam dan dikelola, termasuk ketenagakerjaan, rantai pasok, dan lingkungan,” kata Veronica.
Dia menambahkan bahwa mencapai nol emisi atau net zero emission (NZE) adalah jalan untuk masa depan. Oleh karenanya, transisi menuju kesana harus dirancang secara sadar.
Baca juga: Ragam Manfaat Sisa Pembakaran Batu Bara FABA, Bisa untuk Infrastruktur
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya