KOMPAS.com – Asia Tenggara mempunyai potensi yang melimpah dalam menghadapi perubahan iklim melalui carbon offset.
Carbon offset atau tebus karbon adalah kompensasi emisi karbon yang dikeluarkan dari perusahaan. Dalam skema ini, perusahaan menyuntikkan proyek lingkungan untuk menyeimbangkan jejak karbonnya di tempat lain.
Potensi carbon offset di Asia Tenggara mencapai 30 persen secara global pada 2030 meski luas wilayah daratannya kurang dari 1 persen dari total luas daratan dunia.
Baca juga: Jakarta Bisa Tiru Stockholm Bangun Kota Berkelanjutan
Penghitungan tersebut mengemuka dalam sebuah laporan terbaru berjudul Climate Technology in Southeast Asia: Key to Unlocking the World’s Carbon Sink yang dibuat oleh Fairatmos dan Boston Consulting Group (BCG).
Climate Technology in Southeast Asia: Key to Unlocking the World’s Carbon Sink diluncurkan dalam Indonesia Future of Climate Summit 2023 di the Dharmawangsa Hotel Jakarta, Kamis (10/8/2023).
CEO Fairatmos Natalia Rialucky mengatakan, Asia Tenggara mempunyai potensi yang melimpah dalam menghadapi perubahan iklim melalui solusi berbasis alam.
“Fairatmos bangga bekerja sama dengan BCG untuk menghadirkan laporan transformatif ini,” papar Natalia dalam keterangan tertulis.
“Sebagai perusahaan teknologi iklim pionir di Asia Tenggara, kami tergerak oleh visi bersama dalam membangun masa depan yang berkelanjutan dan berkomitmen untuk menjadi pelopor dalam solusi-solusi yang memberikan manfaat lingkungan dan sosial yang nyata,” sambung Natalia.
Baca juga: Resep Sukses Stockholm, Kota Paling Hijau dan Berkelanjutan di Dunia
Managing Director dan Senior Partner BCG Yulius Yulius menuturkan, keberhasilan perlawanan perubahan iklim tidak mungkin tercapai tanpa adanya kolaborasi dari semua pihak.
“Yang kita perlukan dengan mendesak sekarang adalah tindakan kolektif dari para penyedia teknologi, pemimpin industri, pihak keuangan, pemerintah, dan regulator,” ucap Yulius.
Dia menambahkan, setiap penundaan aksi perlawanan perubahan iklim akan menimbulkan konsekuensi yang besar bagi manusia dan generasi mendatang.
Laporan tersebut menyebutkan, Asia Tenggara memiliki potensi besar namun belum termanfaatkan dalam mengurangi dampak perubahan iklim melalui adopsi solusi berbasis alam atau nature-based Solutions (NbS).
Baca juga: 10 Kota Paling Berkelanjutan di Dunia, Tak Ada Jakarta
NbS adalah pendekatan untuk mengatasi berbagai masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi, dengan menggunakan prinsip-prinsip alam dan ekosistem.
Solusi-solusi ini mencakup beragam inisiatif termasuk reboisasi, penanaman hutan, restorasi lahan basah, dan pertanian berkelanjutan. Berbagai inisiatif tersebut berkontribusi pada penyimpanan karbon dan konservasi biodiversitas.
Laporan tersebut menyebutkan, Asia Tenggara akan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi global.
Proyeksi pertumbuhan PDB riilnya mencapai 4,6 persen pada 2028, melampaui proyeksi global sebesar 2,8 persen.
Baca juga: Mewujudkan Kota Hutan Berkelanjutan IKN Melalui Konsorsium
Meski ada tantangan terkait pengumpulan modal, komitmen terhadap investasi hijau di Asia Tenggara mulai terlihat yang ditunjukkan oleh pemerintah dan berbagai perusahaan.
Potensi pendekatan NbS juga semakin diterima sebagai salah satu jalan untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan data pada laporan ini, NbS dapat secara signifikan berkontribusi terhadap usaha dalam mencapai netralitas karbon atau net zero emission (NZE).
Potensi mitigasi maksimal mencapai 21,7 gigaton karbon dioksida ekuivalen per tahun, atau mengurangi 60 persen emisi yang diproyeksikan pada 2030.
Baca juga: SIG-BRIN Kerja Sama Riset Ciptakan Produk dan Layanan Berkelanjutan
Dengan biaya kurang dari 10 dollar AS per ton karbon dioksida ekuivalen, pasokan global yang diproyeksikan dari carbon offset NbS pada 2030 diperkirakan mencapai 700 hingga 1.000 megaton karbon dioksida ekuivalen per tahun.
Asia Tenggara berpotensi menyediakan antara 200 hingga 300 megaton karbon dioksida ekuivalen per tahun dari kompensasi karbon NbS pada 2030, walaupun luas wilayahnya hanya mencakup 0,7 persen dari total luas dunia.
Meskipun berpotensi besar, laporan ini juga menyoroti berbagai tantangan di seluruh rantai nilai yang menghambat adopsi NbS secara luas.
Masalah terkait transparansi proyek, visibilitas permintaan, dan jaminan kualitas diidentifikasi sebagai hambatan yang harus diatasi secara kolaboratif untuk membuka potensi Asia Tenggara secara penuh dalam menghadapi perubahan iklim.
Baca juga: Penerapan Konsep ESG dalam Membangun Bisnis Berkelanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya