KEKAYAAN sumber daya alam (natural resources) terbesar yang dimiliki Indonesia saat ini adalah hutan alam tropis (tropical rain forest) seluas 120,3 juta hektare, terbentang dari ujung barat Sabang di Pulau Sumatera sampai ujung timur Marauke di Papua.
Dalam peta dunia, luas hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil di benua Amerika dan Republik Demokratik Kongo di benua Afrika.
Dalam buku “The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020” yang terbit Desember 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) 120,3 juta hektare.
Luas ini terdiri dari hutan konservasi 21,9 juta hektare, hutan lindung 29,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 26,8 juta hektare, hutan produksi biasa 29,2 juta hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 12,8 juta hektare.
Sayangnya hutan seluas itu secara eksisting (de facto) yang mempunyai tutupan tinggal 84,9 juta hektare, terdiri dari hutan primer 43,3 juta hektare, hutan sekunder 37,3 juta hektare dan hutan tanaman 4,3 juta hektare. Sisanya kawasan hutan nontutupan hutan seluas 33,4 juta hektare.
Dari awal negara ini dibentuk 1945, pengelolaan hutan alam bertumpu pada regulasi undang-undang (UU) No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan.
Dalam UU tersebut yang dimaksud dengan pengelolaan hutan diartikan sebagai pengurusan hutan dalam arti yang luas, untuk mencapai manfaat hutan sebaik serta sebesar mungkin secara serbaguna dan terus-menerus, baik langsung maupun tidak langsung.
Kegiatan pengurusan hutan termasuk di dalamnya antara lain pengusahaan hutan. Pengusahaan hutan bertujuan memperoleh dan meningggikan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat.
Dalam pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan azas kelestarian hutan (forest sustainability).
Disusul dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH).
Sejak saat itu, mulailah hutan alam dieksplotasi untuk kepentingan pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat.
Bonanza kayu oleh rezim orde baru selama tiga dekade dimanfaatkan sebagai penggerak roda pembangunan dan merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi.
Akibatnya hutan alam diekploitasi habis-habisan untuk diekspor kayunya dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan). Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan) baik asing maupun domestik terus bertambah.
Pada 2000, misalnya, jumlah hak pengusahaan hutan (HPH) meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare.
Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun terhadap pendapatan nasional.
Ekses yang timbul dari izin HPH yang tidak terkendali antara lain tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut masuk dalam wilayah HPH.
Sistem silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak dipatuhi di lapangan karena pengawasan aparat kehutanan setempat lemah. Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik.
Ternyata kelestarian yang dijanjikan dalam regulasi sekelas UU belum terbukti. Jargon tentang timber estate sustainability management hanya terbatas pada diskursus atau wacana saja.
Faktanya, setelah bergantinya rezim dari orde baru ke rezim reformasi, seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, muncul masalah baru yang sebenarnya sudah diperhitungkan sebelumnya, yaitu bencana ekologis akibat eksploitasi SDA hutan.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) khususnya dari bekas hutan gambut yang menghasilkan bencana asap, selalu muncul setiap tahunnya memasuki musim kemarau seperti sekarang.
Pemerintah pusat maupun daerah dibuat kalang kabut untuk mengatasi karhutla ini. Konflik tenurial antarwarga dengan korporasi maupun dengan pemerintah terus terjadi dan tak ada habisnya.
Hutan open akses terlantar akibat ditinggalkan oleh HPH bermasalah atau habis masa kontraknya terus bertambah jumlah dan luasnya. Luas lahan kritis dalam kawasan hutan terus bertambah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya