Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Sengkarut Pengelolaan Hutan Indonesia

Kompas.com - 12/08/2023, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sementara, program membangun hutan oleh pemerintah dan korporasi yang telah dilakukan puluhan tahun belum nampak hasilnya secara signifikan.

Pemerintahan era reformasi yang sudah berjalan hampir 25 tahun, mencoba memperbaiki sengkarut pengelolaan hutan di Indonesia melalui regulasi dengan menerbitkan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang merupakan revisi dari UU No. 5/1967.

Meski HPH dan HPHH dalam UU 41/1999 berubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA) dan izin usaha pemungutan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHH-HA), dan sistem penebangan diperbaharui dengan metoda RIL (Reducing Impact Logging) dan sistem silvikulturnya ditambah dan disempurnakan dengan silin (silvikultur intensif), namun dalam praktik di lapangan kedua sistem tersebut tidak jauh beda.

Pengawasan kehutanan yang diharapkan mampu untuk meredam dan mengurangi penyimpangan pengelolaan hutan di lapangan kurang berjalan baik dan lemah.

Faktanya, pengawasan kehutanan bermasalah karena banyak sebab. Tiga di antaranya adalah urusan pengawasan hutan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah pusat dan kewenangannya tidak dilimpahkan provinsi, apalagi kabupaten.

Jumlah jagawana (polisi kehutanan) di seluruh Indonesia sekitar 7.000 orang, tidak sebanding dengan luas kawasan hutan 125,2 juta hektare.

Artinya, 1 jagawana menjaga 18.000 hektare kawasan hutan. Idealnya 1 jagawana hanya menjaga 500-1000 hektare.

Sehingga jumlah ideal polisi hutan seharusnya 125.000 ; dan pemerintah pusat terlalu jauh kewenangannya mengawasi hutan yang ada di tingkat tapak.

Dalam ilmu manajemen modern, untuk memperoleh pengawasan yang efektif apabila rentang kendali ada pada dua tingkat di bawahnya.

Kebijakaan parsial dan anomali

Meskipun jargonnya pengelolaan hutan sering diganti-ganti dari timber estate sustainability management menjadi community based forest management dan terakhir sustainable landscape management, namun kebijakan pengelolaan hutan banyak yang bersifat lepas, parsial dan kadang menimbulkan anomali yang sering menimbulkan sengkarut dalam pelaksanaan di tingkat tapak. Kebijakan tersebut di antaranya adalah:

Pertama, kebijakan moratorium pembukaan hutan alam dan gambut. Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2011, telah diterbitkan Inpres tentang moratorium sementara pembukaan hutan alam dan gambut.

Moratorium ini diperpanjang selama empat kali sejak 2011, yang dipicu perjanjian kerja sama menekan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan dengan pemerintah Norwegia.

Dari perpanjangan itu, peta indikatif hutan alam dan gambut yang tak boleh dibuka seluas 66.139.183 hektare, berkurang 42.911 hektare dibanding peta pada awal tahun ini.

Pada revisi ke-16, luas areal moratorium seluas 66,3 juta hektare, dengan rincian 51,5 juta hektare kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, 5,3 juta hektare lahan gambut yang tak masuk areal konsesi perusahaan hutan produksi atau Areal Penggunaan Lain (APL), serta 9,5 juta hektare hutan alam primer yang belum menjadi konsesi di hutan produksi atau APL.

Belakangan pemerintah menghentikan secara permanen pembukaan lahan gambut.
Masalahnya, mengapa hutan konservasi yang tak boleh dibebani izin masih dimasukkan dalam moratorium ini?

Seharusnya yang perlu dihitung dan dicermati adalah pemanfaatan hutan produksi yang acap tumpang tindih dan hutan lindung yang merupakan hutan dengan wilayah abu-abu: boleh atau tak boleh dimanfaatkan.

Pada revisi ke-14 peta moratorium, luas hutan konservasi 27,3 juta hektare. Agaknya luas ini masuk seluruhnya dalam peta moratorium, sementara sisanya seluas 24,2 juta hektare sebagian besar berupa kawasan hutan lindung dari luas total 29,5 juta hektare.

Tampaknya sudah tidak ada lagi hutan alam primer dan gambut yang masih utuh di hutan produksi jika kita hitung luas konsesi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang telah terbit selama ini. Kalaupun masih ada luasnya tak lebih dari 1 juta hektare.

Yang menarik adalah APL yang masih memiliki tutupan hutan dimasukkan dalam peta moratorium. Padahal, menurut pemerintah sendiri, APL merupakan lahan di luar kawasan hutan yang luasnya mencapai 67,4 juta hektare.

Meski bukan kawasan hutan, 12 persen APL atau 7,9 juta hektare diperkirakan masih memiliki tutupan pohon.

Jadi jika dilihat lebih saksama, luas kawasan hutan alam primer dan gambut yang masuk dalam peta moratorium adalah hutan lindung seluas 24,2 juta hektare, hutan produksi sekitar 1 juta hektare, dan APL seluas 7,9 juta hektare.

Artinya hutan alam primer Indonesia dan gambut yang tak boleh dibuka untuk alasan apa pun hanya 33,1 juta hektare saja.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
KLH Minta Rumah Sakit Tangani Limbah Medis, Atasi Krisis Iklim
KLH Minta Rumah Sakit Tangani Limbah Medis, Atasi Krisis Iklim
Pemerintah
Picu Kerugian Besar, KLH Minta Pemda Arusutamakan Perubahan Iklim
Picu Kerugian Besar, KLH Minta Pemda Arusutamakan Perubahan Iklim
Pemerintah
Dampak 8.000 Tahun Aktivitas Manusia: Hewan Liar Mengecil, Hewan Ternak Membesar
Dampak 8.000 Tahun Aktivitas Manusia: Hewan Liar Mengecil, Hewan Ternak Membesar
Pemerintah
Peta Global Ungkap Wilayah Laut Paling Terancam Sampah Plastik
Peta Global Ungkap Wilayah Laut Paling Terancam Sampah Plastik
LSM/Figur
WMO Prediksi Suhu Bumi Meningkat Lagi hingga November 2025
WMO Prediksi Suhu Bumi Meningkat Lagi hingga November 2025
Pemerintah
Teliti Mikropastik di Laut Indonesia, BRIN Gelar Eskpedisi Selama 31 Hari
Teliti Mikropastik di Laut Indonesia, BRIN Gelar Eskpedisi Selama 31 Hari
Pemerintah
Sony akan Pangkas Emisi Rantai Pasokan Sebesar 25 Persen dalam Lima Tahun
Sony akan Pangkas Emisi Rantai Pasokan Sebesar 25 Persen dalam Lima Tahun
Swasta
Dukungan Aksi Iklim Sering Diremehkan, Bisa Hambat Perubahan Penting
Dukungan Aksi Iklim Sering Diremehkan, Bisa Hambat Perubahan Penting
LSM/Figur
Inisiatif Bank DBS Bantu Indonesia Hadapi Tantangan Sosial Ekonomi, dari Siapkan Talenta Digital hingga Dukung Wirausaha
Inisiatif Bank DBS Bantu Indonesia Hadapi Tantangan Sosial Ekonomi, dari Siapkan Talenta Digital hingga Dukung Wirausaha
BrandzView
Masyarakat Adat Enggros Papua Mulai Budi Daya Ikan Nila di Air Laut
Masyarakat Adat Enggros Papua Mulai Budi Daya Ikan Nila di Air Laut
LSM/Figur
Menteri LH: Emisi Energi Naik hingga 2035, Pertambangan Mutlak Berkelanjutan
Menteri LH: Emisi Energi Naik hingga 2035, Pertambangan Mutlak Berkelanjutan
Pemerintah
Kakatua Tanimbar, Spesies Cerdas Asal Maluku yang Populasinya Kian Terancam
Kakatua Tanimbar, Spesies Cerdas Asal Maluku yang Populasinya Kian Terancam
Pemerintah
IPB dan Kemenhut Bangun Pusat 'Bayi Tabung' untuk Satwa Liar yang Terancam Punah
IPB dan Kemenhut Bangun Pusat "Bayi Tabung" untuk Satwa Liar yang Terancam Punah
Pemerintah
Krisis Iklim, PLTS Berpotensi Kurangi Emisi 6 Juta Ton CO2 per Tahun
Krisis Iklim, PLTS Berpotensi Kurangi Emisi 6 Juta Ton CO2 per Tahun
LSM/Figur
Aliansi PKTA Desak Hentikan Kekerasan pada Anak, Soroti Meninggalnya Pelajar dalam Aksi 29 Agustus
Aliansi PKTA Desak Hentikan Kekerasan pada Anak, Soroti Meninggalnya Pelajar dalam Aksi 29 Agustus
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau