Sementara, program membangun hutan oleh pemerintah dan korporasi yang telah dilakukan puluhan tahun belum nampak hasilnya secara signifikan.
Pemerintahan era reformasi yang sudah berjalan hampir 25 tahun, mencoba memperbaiki sengkarut pengelolaan hutan di Indonesia melalui regulasi dengan menerbitkan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang merupakan revisi dari UU No. 5/1967.
Meski HPH dan HPHH dalam UU 41/1999 berubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA) dan izin usaha pemungutan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHH-HA), dan sistem penebangan diperbaharui dengan metoda RIL (Reducing Impact Logging) dan sistem silvikulturnya ditambah dan disempurnakan dengan silin (silvikultur intensif), namun dalam praktik di lapangan kedua sistem tersebut tidak jauh beda.
Pengawasan kehutanan yang diharapkan mampu untuk meredam dan mengurangi penyimpangan pengelolaan hutan di lapangan kurang berjalan baik dan lemah.
Faktanya, pengawasan kehutanan bermasalah karena banyak sebab. Tiga di antaranya adalah urusan pengawasan hutan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah pusat dan kewenangannya tidak dilimpahkan provinsi, apalagi kabupaten.
Jumlah jagawana (polisi kehutanan) di seluruh Indonesia sekitar 7.000 orang, tidak sebanding dengan luas kawasan hutan 125,2 juta hektare.
Artinya, 1 jagawana menjaga 18.000 hektare kawasan hutan. Idealnya 1 jagawana hanya menjaga 500-1000 hektare.
Sehingga jumlah ideal polisi hutan seharusnya 125.000 ; dan pemerintah pusat terlalu jauh kewenangannya mengawasi hutan yang ada di tingkat tapak.
Dalam ilmu manajemen modern, untuk memperoleh pengawasan yang efektif apabila rentang kendali ada pada dua tingkat di bawahnya.
Meskipun jargonnya pengelolaan hutan sering diganti-ganti dari timber estate sustainability management menjadi community based forest management dan terakhir sustainable landscape management, namun kebijakan pengelolaan hutan banyak yang bersifat lepas, parsial dan kadang menimbulkan anomali yang sering menimbulkan sengkarut dalam pelaksanaan di tingkat tapak. Kebijakan tersebut di antaranya adalah:
Pertama, kebijakan moratorium pembukaan hutan alam dan gambut. Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2011, telah diterbitkan Inpres tentang moratorium sementara pembukaan hutan alam dan gambut.
Moratorium ini diperpanjang selama empat kali sejak 2011, yang dipicu perjanjian kerja sama menekan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan dengan pemerintah Norwegia.
Dari perpanjangan itu, peta indikatif hutan alam dan gambut yang tak boleh dibuka seluas 66.139.183 hektare, berkurang 42.911 hektare dibanding peta pada awal tahun ini.
Pada revisi ke-16, luas areal moratorium seluas 66,3 juta hektare, dengan rincian 51,5 juta hektare kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, 5,3 juta hektare lahan gambut yang tak masuk areal konsesi perusahaan hutan produksi atau Areal Penggunaan Lain (APL), serta 9,5 juta hektare hutan alam primer yang belum menjadi konsesi di hutan produksi atau APL.
Belakangan pemerintah menghentikan secara permanen pembukaan lahan gambut.
Masalahnya, mengapa hutan konservasi yang tak boleh dibebani izin masih dimasukkan dalam moratorium ini?
Seharusnya yang perlu dihitung dan dicermati adalah pemanfaatan hutan produksi yang acap tumpang tindih dan hutan lindung yang merupakan hutan dengan wilayah abu-abu: boleh atau tak boleh dimanfaatkan.
Pada revisi ke-14 peta moratorium, luas hutan konservasi 27,3 juta hektare. Agaknya luas ini masuk seluruhnya dalam peta moratorium, sementara sisanya seluas 24,2 juta hektare sebagian besar berupa kawasan hutan lindung dari luas total 29,5 juta hektare.
Tampaknya sudah tidak ada lagi hutan alam primer dan gambut yang masih utuh di hutan produksi jika kita hitung luas konsesi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang telah terbit selama ini. Kalaupun masih ada luasnya tak lebih dari 1 juta hektare.
Yang menarik adalah APL yang masih memiliki tutupan hutan dimasukkan dalam peta moratorium. Padahal, menurut pemerintah sendiri, APL merupakan lahan di luar kawasan hutan yang luasnya mencapai 67,4 juta hektare.
Meski bukan kawasan hutan, 12 persen APL atau 7,9 juta hektare diperkirakan masih memiliki tutupan pohon.
Jadi jika dilihat lebih saksama, luas kawasan hutan alam primer dan gambut yang masuk dalam peta moratorium adalah hutan lindung seluas 24,2 juta hektare, hutan produksi sekitar 1 juta hektare, dan APL seluas 7,9 juta hektare.
Artinya hutan alam primer Indonesia dan gambut yang tak boleh dibuka untuk alasan apa pun hanya 33,1 juta hektare saja.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya