Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Sengkarut Pengelolaan Hutan Indonesia

Kompas.com - 12/08/2023, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kedua, meski kawasan hutan alam primer telah dilakukan moratorium secara permanen, faktanya pemerintah masih membuka peluang melalui UU No. 11/2021 Cipta Kerja dan PP No. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan untuk pemanfaatan hutan produksi dengan skema perizinan usaha kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu yang tumbuh alami/hutan alam.

Dengan kata lain, masih dibuka peluang IUPHHK-HA dalam kawasan hutan produksi pada hutan alam primer.

PP ini sama saja dengan menegasi dan anomali adanya moratorium hutan alam dan gambut.

Dalam buku “The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020, dalam kawasan hutan produksi, hutan primer yang tersisa tinggal seluas 17,0 juta hektare, yang terdiri dari hutan produksi terbatas (HPT) 9,8 juta hektare, hutan produksi biasa (HP) 4,7 juta hektare dan hutan produksi konversi (HPK) 2,5 juta hektare.

Bila dihitung jumlah total kawasan hutan alam primer, termasuk hutan konservasi (HK) 12,5 juta hektare dan hutan lindung (HL) 15,9 juta hektare, maka luasnya baru mencapai 45,4 juta hektare.

Ketiga, penyelesaian sawit dalam kawasan hutan yang mencapai 3,1 – 3,4 juta hektare. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini terdapat 3,1 - 3,2 juta hektare sawit di kawasan hutan.

Yayasan Kehati, dalam rapat dengan DPR pada 17 Juni 2021, menyebut 3,4 juta hektare. Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal.

Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.

Pemerintah berencana memutihkan atau melegalkan 3,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan (Kompas, 24/06/2023).

Pemutihan tersebut merupakan langkah penyelesaian permasalahan kebun sawit yang sesuai dengan mekanisme Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja.

Menurut Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi selaku Ketua Tim Pengarah Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, saat ini terdapat 16,8 juta hektare luas lahan sawit di Indonesia.

Dari jumlah itu, seluas 10,4 juta hektare digunakan oleh korporasi atau perusahaan baik BUMN maupun swasta. Sisanya, seluas 6,4 juta hektare adalah perkebunan rakyat.

Update data terakhir dari Satgas di atas, luas sebesar 3,3 juta hektare dari total lahan sawit Indonesia berada di kawasan hutan.

Pemutihan lahan sawit dalam kawasan hutan dengan cara melegalkan oleh pemerintah ini, bukan lantas masalahnya menjadi selesai. Persoalan baru telah menghadang, terhadap produk-produk komoditas pertanian yang berasal dari kawasan hutan termasuk produk sawit dan turunannya.

Di tengah ekspektasi penerimaan negara bukan pajak (PNPB) yang begitu besar dari denda sawit dalam kawasan hutan tersebut, terdapat hambatan dan pesimistis yang menghadang di depan ketidak mulusnya penerapan denda sawit dengan terbit UU anti deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang berlaku mulai 16 Mei 2023.

Dengan pemberlakuan ini, seluruh komoditas andalan Indonesia ke Uni Eropa dilarang masuk ke 27 negara anggota organisasi itu jika tidak lolos uji tuntas deforestasi.

Sudah barang tentu produk sawit dan turunannya masuk dalam sasaran EUDR yang dilarang dijual di Uni Eropa. Padahal negara Uni Eropa merupakan konsumen terbesar kedua setelah negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Jadi bagi subyek hukum pada kelompok penguasa hutan ilegal (tanpa izin), meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah yang akan dikenai denda PNBP tersebut, suka atau tidak suka akan mengalami gangguan neraca keuangan akibat penjualan produk sawitnya yang tidak lagi semulus sebelumnya.

Dampaknya kemampuan membayar denda PNBP subyek hukum yang disebut di atas akan melemah atau menurun.

Proses pemutihan kebun sawit seluas 3,3 juta hektare, dengan mekanisme pelepasan kawasan hutan, jelas akan menjadi ganjalan bagi minyak mentah sawit (CPO) Indonesia yang akan dijual kepasaran Uni Eropa, karena masuk dalam golongan dan kriteria deforestasi yang diharamkan bagi UU EUDR.

Pemerintah Indonesia sebaiknya menata ulang kebijakan pengelolaan hutan agar sengkarut ini tidak terlanjur terperosok kedalam lubang yang dalam di tengah upaya dunia sedang menahan laju peningkatan emisi karbon yang mengancam jiwa dan keselamatan warga dunia.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau