Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Akademisi

Platform publikasi karya akademik dari akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk khalayak luas demi Indonesia yang semakin maju.

Membangun Kesadaran Bahaya Polusi Udara

Kompas.com - 14/08/2023, 11:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berbagai hal perlu diperhatikan oleh pemerintah, peneliti, lembaga non-pemerintah, pemengaruh dan semua pihak yang akan menjalankan kampanye komunikasi risiko terkait isu buruknya kualitas udara ini.

Seperti dikatakan Rowe, dkk (2004) bahwa saat ini publik bukan lagi dilihat sebagai pihak yang perlu ditatar untuk mengubah pandangannya tentang bahaya semua bencana/krisis.

Pada kampanye komunikasi risiko, terkadang masih ada gap yang lebar antara ilmu pengetahuan yang dibawa oleh peneliti, pemerintah dan industrialis dengan dunia sosial di masyarakat (Hilgartner, 1990).

Frewer (2004) menegaskan bahwa publik harus dapat dilibatkan dalam aktivitas komunikasi risiko. Hal tersebut akan mengurangi distrust publik terhadap lembaga pemerintah dan praktisi komunikasi risiko.

Sebelum lebih jauh menyusun program kampanye komunikasi risiko, perlu dipastikan dahulu bahwa pemerintah dan praktisi perlu meningkatkan transparansi terkait proses analisis atas semua rencana yang akan dijalankan.

Keterbukaan ini akan membangun kepercayaan publik, yang pada akhirnya diharapkan ada keterlibatan lebih dari masyarakat.

Harus ada perubahan kebiasaan dari pratik komunikasi satu arah yang cenderung top-down, bergeser menjadi lebih konsultatif, transparan, dan melalui proses pengambilan keputusan yang inklusif.

Pola aktivitas demikian menjadi penting karena masih banyak publik yang menganggap bahwa buruknya kualitas udara di Jakarta tidak perlu direspons terlalu berlebihan oleh masyarakat karena permasalahan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/daerah.

Memang betul bahwa ada porsi di mana permasalahan ini membutuhkan intervensi kebijakan di level pemerintah. Misalnya, terkait kebijakan sistem pasar listrik energi terbarukan di Indonesia.

Skema investasi energi terbarukan yang akan masuk jaringan listrik existing belum sepenuhnya menarik bagi investor.

Contoh lain, misalnya, terkait kebijakan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang bertujuan mendapatkan suntikan dana dari negara maju sebagai modal proyek penghentian operasi PLTU tenaga batu bara yang disertai dengan pendirian pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan.

Transisi ini penting karena operasi beberapa PLTU tenaga batubara di sekitar Jakarta disinyalir sebagai penyumbang terbesar buruknya kualitas udara di kota tersebut.

Dua kebijakan strategis ini tampaknya belum ditangkap dengan baik oleh masyarakat, sehingga tudingan kealpaan pemerintah atas permasalahan kualitas udara yang buruk masih kerap terdengar.

Maka kajian komunikasi risiko yang baik bisa menjadi solusi atas diseminasi informasi kepada publik terkait capaian/upaya pemerintah di sektor energi bersih.

Gutteling dan Wiegman (1996) menegaskan bahwa Komunikasi Risiko adalah perencanaan sistematis pada kegiatan transfer informasi yang berdasarkan riset ilmiah, untuk mencegah, menyelesaikan atau respons mitigasi permasalahan dengan penyusunan pesan-pesan risiko sedemikian rupa yang ditujukan kepada sekelompok target sasaran yang spesifik.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau