Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Virdika Rizky Utama
Peneliti PARA Syndicate

Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.

Krisis Lingkungan Harus Jadi Panggung Utama Politik Indonesia

Kompas.com, 21 Agustus 2023, 15:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA saat ini berada di tengah krisis lingkungan yang mendalam. Kualitas udara Jakarta yang kini dinobatkan sebagai salah satu yang terburuk di dunia dan abrasi yang meningkat di pantai utara Jawa menandakan urgensi masalah lingkungan.

Sementara itu, dengan mendekatnya pemilihan presiden 2024, pertautan antara tantangan ekologi dan kebijakan politik menjadi topik yang tak bisa diabaikan.

Mungkinkah isu lingkungan akhirnya mendapatkan tempat sentral dalam agenda politik Indonesia?

Kualitas udara Jakarta merupakan simbol krisis perkotaan yang menyedihkan. Pekan lalu, AQI Jakarta mencapai 183. Apa yang kita hadapi bukan hanya data statistik.

Kondisi itu adalah refleksi dari udara beracun yang dihirup oleh jutaan warga setiap hari, memperpendek harapan hidup dan merusak kesejahteraan generasi mendatang.

Ini adalah lambang dari kegagalan urbanisasi: kota besar yang kaya, tetapi dengan warga yang sakit.

Dari perspektif politik, ini adalah bukti pengabaian selama bertahun-tahun, namun juga menawarkan kesempatan untuk redefinisi – visi baru untuk Jakarta yang layak huni, hijau, dan berkelanjutan.

Sementara itu, abrasi pesisir Pulau Jawa merupakan indikator ketidakpedulian terhadap lingkungan. Dampaknya sama tragisnya dengan situasi udara Jakarta.

Hutan-hutan yang ditebang, secara legal atau ilegal, dan pertambangan yang tak terkendali merusak keseimbangan ekosistem pesisir, meningkatkan risiko bencana seperti naiknya permukaan laut.

Ini adalah cerita tentang bagaimana kebutuhan ekonomi jangka pendek sering kali mendominasi pertimbangan lingkungan jangka panjang.

Politik di belakang masalah ini kompleks. Dalam upaya menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi regional, pemerintah daerah terkadang mengesampingkan dampak jangka panjang dari kebijakan mereka.

Di sisi lain, perlu ada kerangka kerja nasional yang konsisten dalam melindungi dan memulihkan habitat-habitat vital ini.

Namun, ketika kita membicarakan kualitas udara Jakarta dan abrasi pesisir Pulau Jawa, kita sedang melihat puncak dari gunung es.

Di balik gejala permukaan ini, terdapat cerita kerusakan lingkungan yang lebih luas di seluruh Indonesia, termasuk deforestasi massal di Kalimantan, Papua, dan Sulawesi.

Kerusakan ini memberikan dampak signifikan tidak hanya pada iklim global dan keanekaragaman hayati, tetapi juga pada kehidupan manusia.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang


Terkini Lainnya
Cuaca Ekstrem di Sumatera Dipicu Anomali Siklon Tropis, Ini Penjelasan Pakar
Cuaca Ekstrem di Sumatera Dipicu Anomali Siklon Tropis, Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
6 Cara Sederhana Mengurangi Food Waste di Rumah
6 Cara Sederhana Mengurangi Food Waste di Rumah
Swasta
Potensi Panas Bumi Capai 2.160 GW, RI Bisa Buka 650.000 Lapangan Kerja Baru
Potensi Panas Bumi Capai 2.160 GW, RI Bisa Buka 650.000 Lapangan Kerja Baru
LSM/Figur
Sumatera Dikepung Air: Krisis Ruang dan Kegagapan Informasi
Sumatera Dikepung Air: Krisis Ruang dan Kegagapan Informasi
Pemerintah
Siklon Tak Wajar Picu Bencana di Sumatera Barat, Sedang Diteliti UNAND
Siklon Tak Wajar Picu Bencana di Sumatera Barat, Sedang Diteliti UNAND
LSM/Figur
BRIN Fokus Riset Pengelolaan Sampah, Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi
BRIN Fokus Riset Pengelolaan Sampah, Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi
Pemerintah
Menteri LH Hanif Nilai Indonesia Belum Siap Hadapi Krisis Iklim, Sibuk Cari Cara Turunkan Emisi
Menteri LH Hanif Nilai Indonesia Belum Siap Hadapi Krisis Iklim, Sibuk Cari Cara Turunkan Emisi
Pemerintah
Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
LSM/Figur
Menteri LH Hanif Soal COP30, Negara Dunia Masih Berdebat dan Krisis Iklim Terabaikan
Menteri LH Hanif Soal COP30, Negara Dunia Masih Berdebat dan Krisis Iklim Terabaikan
Pemerintah
Ketika Alam Dirusak, Jangan Salahkan Alam
Ketika Alam Dirusak, Jangan Salahkan Alam
Pemerintah
Perluasan Kota Ancam Akses Air Bersih pada 2050, Ini Studinya
Perluasan Kota Ancam Akses Air Bersih pada 2050, Ini Studinya
Swasta
Ratusan Ilmuwan Tandatangani Deklarasi Dartington, Desak Pemimpin Dunia Atasi Perubahan Iklim
Ratusan Ilmuwan Tandatangani Deklarasi Dartington, Desak Pemimpin Dunia Atasi Perubahan Iklim
Pemerintah
Tak Lepas dari Ancaman, Bahan Kimia Abadi Ditemukan di Hewan Laut
Tak Lepas dari Ancaman, Bahan Kimia Abadi Ditemukan di Hewan Laut
LSM/Figur
Kemenhut Bantah Tudingan Bupati Tapsel soal Beri Izin Penebangan Hutan Sebelum Banjir
Kemenhut Bantah Tudingan Bupati Tapsel soal Beri Izin Penebangan Hutan Sebelum Banjir
Pemerintah
SCG Pangkas Emisi lewat Semen Rendah Karbon dan Efisiensi Energi
SCG Pangkas Emisi lewat Semen Rendah Karbon dan Efisiensi Energi
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau