Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menuju Transisi Energi Berkeadilan, Perlu Mitigasi di Daerah Penghasil Batu Bara

Kompas.com - 03/09/2023, 07:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Daerah penghasil batu bara akan menjadi pihak yang terdampak cukup signifikan dalam proses transisi energi bersih.

Oleh karenanya, perlu upaya mitigasi dan strategi yang diterapkan kepada daerah penghasil batu bara dalam proses transisi energi yang berkeadilan.

Hal tersebut mengemuka dalam peluncuran studi berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Jumat (1/8/2023).

Baca juga: Dukung Net Zero Emission 2050, AIA Group Divestasi Batu Bara

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, penelitian tersebut merupakan studi pertama yang mengeksplorasi potensi dampak sosial ekonomi dari kebijakan transisi energi pemerintah.

Penelitian tersebut dilakukan secara komprehensif selama dua tahun di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

Proses transisi energi mau tak mau akan menurunkan permintan batu bara, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seiring dengan pensiunnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

IESR memperkirakan, permintaan batu bara domestik akan melandai pada 2030. Setelah itu, akan menurun bertahap sehingga mencapai titik terendah pada 2060.

Baca juga: Penelitian: Co-firing Bukan Solusi Efektif Pangkas Emisi dan Polusi PLTU Batu Bara

"Ini yang menjadi dasar apa yang akan dampak diterima daerah penghasil batu bara," kata Fabby dalam peluncuran studi tersebut.

Di Kabupaten Paser, batu bara menyumbang 70 persen produk domestik regional bruto (PDRB) dan 72 persen anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Sedangkan di Muara Enim, batu bara berkontribusi sebesar 50 persen terhadap PDRB dan 20 persen APBD.

"Dari situ kita bisa lihat, produksi batu bara dan harga akan berimplikasi terhadap pertumbuhan keekonomian masing-masing kabupaten kota," papar Fabby.

Fabby mencontohkan, ketika harga batu bara anjlok pada 2014 hingga 2018, ada keterkaitan yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi daerah penghasil batu bara.

Baca juga: Nasib Daerah Penghasil Batu Bara di Era Transisi Energi

Tangkapan layar dari Zoom yang menunjukkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan pidato dalam peluncuran studi berjudul Just Transition in Indonesia?s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim, Jumat (1/8/2023).KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU Tangkapan layar dari Zoom yang menunjukkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan pidato dalam peluncuran studi berjudul Just Transition in Indonesia?s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim, Jumat (1/8/2023).

Oleh karenanya, prediksi penurunan konsumsi batu bara seiring dengan beralihnya ke energi bersih menjadi hal yang harus disikapi serius di daerah penghasil batu bara.

"Ini sebuah hal yang serius untuk mulai disikapi oleh perencanaan pembangunan dan pembuat kebijakan pascamenurunnya industri ekstraktif," ucapnya.

Dalam laporan tersebut, IESR merekomendasikan beberapa strategi untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batu bara.

Pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat.

Kedua, menggunakan dana bagi hasil (DBH) dan program corporate social responsibilites (CSR) untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan.

Baca juga: Mengenal Limbah PLTU Batu Bara yang Kini Jadi Media Tanam Kayu Putih

Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat.

Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya.

Analis Kebijakan Lingkungan IESR Ilham Surya menyampaikan, semua hal terkait transisi di daerah penghasil batu bara perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi.

Hal tersebut agar pemerintah daerah penghasil batu bara mendapatkan dukungan dan arahan yang jelas baik dari pusat maupun provinsi.

Baca juga: 10 Provinsi Paling Terdampak Emisi PLTU Batu Bara, Jawa Barat Tertinggi

Manajer Riset IESR Julius Christian menyampaikan, di satu sisi, industri pertambangan batu bara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya.

"Misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente," ungkap Julius.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi dengan perspektif yang beragam.

Perusahaan batu bara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam.

Baca juga: Pembatalan Proyek PLTU Batu Bara Dapat Selamatkan 180.000 Jiwa

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau