KOMPAS.com - Pembangkit listruk tenaga uap (PLTU) batu bara adalah salah satu sumber emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar.
Selain menghasilkan emisi, PLTU batu bara juga mengeluarkan polutan udara yang berbahaya bagi kesehatan.
Polutan udara yang berbahaya dari PLTU batu bara adalah partikel halus PM2,5, sulfur dioksida, nitrogen oksida, merkuri, dan logam-logam berat lainnya.
Baca juga: Mengenal Penggunaan Woodchips dalam Sistem Co-Firing PLTU Bangka
Menurut penelitian berjudul "Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia" dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), sebagian besar PLTU batu bara di Indonesia tidak memiliki teknologi pengendalian polutan udara untuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida.
Air Quality Life Index (AQLI) memperkirakan, 91 persen populasi di Indonesia terpapar oleh polusi udara yang tingkatannya melebihi pedoman dari WHO.
Menurut penelitian terbaru dari CREA dan IESR tersebut, polusi udara dari PLTU batu bara bertanggung jawab atas 10.500 kematian di Indonesia pada 2022.
Angka kematian tersebut tersebar di berbagai provinsi yang memiliki PLTU, baik captive maupun terhubung dengan jaringan.
Selain itu, polusi udara dari PLTU batu bara membebani biaya kesehatan sebesar 7,4 miliar dollar AS.
Baca juga: Daftar PLTU Batu Bara dengan Dampak Biaya Kesehatan Tertinggi
Jawa Barat menjadi provinsi yang paling terdampak emisi PLTU batu bara dengan angka kematian tahunan lebih dari 4.000 jiwa.
Dilansir dari penelitian Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia, berikut 10 provinsi paling terdampak PLTU batu bara berdasarkan angka kematian tahunan.
Angka kematian tahunan: 4.135 jiwa
Angka kematian tahunan: 2.153 jiwa
Angka kematian tahunan: 1.761 jiwa
Angka kematian tahunan: 1.643 jiwa
Angka kematian tahunan: 1.013 jiwa
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya