KOMPAS.com – Pembahasan mengenai perdagangan karbon di Indonesia semakin meningkat belakangan ini.
Perdagangan karbon semakin hangat dibicarakan usai Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan aturan atau regulasi perdagangan karbon di Indonesia.
Regulasi tersebut tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon atau POJK bursa karbon.
Meski aturan sudah disahkan, beberapa masyarakat Indonesia belum mengetahui sepenuhnya apa itu perdagangan karbon.
Baca juga: Walhi: Peraturan Perdagangan Karbon Bukan Solusi Permasalahan Iklim
Apa itu perdagangan karbon? Pengertian perdagangan karbon di Indonesia dijelaskan oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Dalam Pasal 1 ayat (6), perdagangan karbon adalah jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.
Dilansir dari Investopedia, pengertian dari perdagangan karbon adalah jual beli sertifikat emisi gas rumah kaca (GRK).
Sebagai gambaran, negara a adalah industri yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sedangkan negara b memiliki potensi sumber daya alam yang mampu menyerap emisi karbon.
Dalam mekanisme perdagangan karbon, negara b mengeluarkan “sertifikat penyerapan karbon” yang bisa dibeli oleh negara a.
Baca juga: Aturan Perdagangan Karbon Disahkan, Ini 10 Poin Pentingnya
Perdagangan karbon sebenarnya sudah mengemuka dan diatur melalui Protokol Kyoto pada 2005.
Dalam Pasal 17 Protokol Kyoto, negara-negara yang mampu menyerap lebih banyak emisi karbon dapat menjualnya kepada negara-negara yang mengeluarkan banyak emisi.
Selain dari level negara, perdagangan karbon juga bisa diterapkan kepada perusahaan.
Dilansir dari situs web Bursa Berjangka Komoditi & Derivatif Indonesia (ICDX), perdagangan karbon di level perusahaan merupakan kegiatan jual beli sertifikat karbon atau kredit karbon.
Kredit karbon adalah representasi dari “hak” bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi GRK dalam proses industrinya.
Baca juga: Perdagangan Karbon: Tidak Nyata, tapi Ada
Kredit karbon juga dapat berasal dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang ditetapkan pada industrinya.
Pemerintah setempat akan menerbitkan kredit karbon hingga batasan tertentu. Jika perusahaan menghasilkan emisi kurang dari kredit yang dimiliki, maka perusahaan tersebut bisa menjual kredit tersebut di pasar karbon.
Perdagangan karbon merupakan salah satu upaya yang bertujuan untuk menekan emisi GRK.
Sebagaimana kita ketahui, emisi GRK adalah penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim di Bumi.
Perdagangan karbon disahkan oleh pemerintah agar emisi karbon di Bumi dapat berkurang, serta meminimalkan dampak perubahan iklim.
Baca juga: Indonesia Berpotensi Raup Rp 8.000 Triliun dari Perdagangan Karbon, Ini Sebabnya
Menurut ICDX, perdagangan karbon lebih lebih mudah diimplementasikan daripada membatasi dan mengenakan pajak pada perusahaan penghasil emisi GRK.
Dalam perdagangan karbon, pemerintah juga dapat memantau jumlah emisi GRK. Jumlah emisi dan potensi penyerapan dapat terukur dengan standar yang telah ditetapkan.
Jumlah kredit karbon yang beredar di pasar karbon akan membantu dalam mengontrol besarnya emisi GRK yang dilepas ke atmosfer.
Selain itu, perdagangan karbon juga akan membuka peluang ekonomi baru bagi negara-negara yang berpartisipasi.
Sebagai salah satu paru-paru dunia, Indonesia diperkirakan menyumbang 75 hingga 80 persen kredit karbon dunia.
Dengan diterapkannya perdagangan karbon, Indonesia bisa ketiban untung lebih dari 150 miliar dollar.
Baca juga: Perdagangan Karbon ke Luar Negeri Tidak Tertutup, Aturan Sedang Digodok
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya