Langkah pemerintah memang sudah benar membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 2016 lalu (sejak 2020 berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove/BRGM). Namun, hasil kerja BRG belum signifikan mencegah karhutla.
Salah satu tugas BRG, yaitu mengatur dan memfasilitasi restorasi gambut seluas 2 juta hektare hingga 2020, di tujuh provinsi: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Kemudian, BRGM mengatur dan memfasilitasi restorasi gambut seluas 1,2 juta hektare.
Untuk membantu mempercepat proses pemulihan gambut, restorasi adalah cara yang paling logis dan masuk akal.
Kegiatan restorasi dilakukan untuk menjadikan ekosistem gambut atau bagian-bagiannya berfungsi kembali, melalui pembangunan infrastruktur pembasahan kembali gambut yang meliputi bangunan air, penampungan air, penimbunan kanal dan atau pemompaan air.
Bangunan air itu adalah sekat kanal, embung dan bangunan air lainnya.
Nah, salah satu indikator keberhasilan restorasi gambut adalah apabila jumlah titik api/panas (hot spot) yang menjadi sumber karhutla berkurang dibanding sebelum dilakukan kegiatan restorasi.
Faktanya, data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar, jumlah titik panas di Kalbar hingga 22 Agustus 2023, mencapai 34.910 titik (Kompas,5/9/2023).
Sementara BPBD Sumsel, jumlah titik panas di provinsi itu selama Januari-Agustus 2023, mencapai 1.821 titik.
Titik panas di Sumsel paling banyak muncul pada Agustus 2023, yakni 653 titik (Kompas, 26/8/2023).
Banyaknya titik panas di kedua provinsi itu mengindikasikan kerja-kerja BRG/BRGM untuk merestorasi gambut belum menunjukkan keberhasilan secara signifikan apabila ditinjau dari aspek pencegahan.
Cara-cara pencegahan lain yang pernah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seperti meningkatkan patroli, kampanye pencegahan karhutla kepada masyarakat, pelaksanaan rekayasa cuaca melalui operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk pembasahan gambut. Nampak, semua itu belum efektif membawa keberhasilan.
Pemadaman dengan waterbooming melalui helikopter dilakukan berulang-ulang untuk menanggulangi karhutla, disamping mengerah tenaga Maggala Agni untuk memadamkan api secara manual, baik dengan air maupun tenaga manusia.
Sanksi hukum disiapkan oleh KLHK bagi korporasi yang melanggar aturan mulai dari teguran hingga pencabutan izin.
Cara-cara penanggulangan gaya lama dengan memberikan sanksi pencabutan izin bagi korporasi bukan solusi yang efektif, bahkan akan menambah persoalan baru.
Lahan bekas koorporasi yang izinnya dicabut lalu ditinggalkan, akan menjadi lahan “open access” yang bisa menjadi sumber kebakaran baru karena tak bertuan.
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak mempunyai SDM, anggaran dan peralatan yang cukup untuk menjaga dan mengawasai lahan yang "open access" tersebut.
Memang benar kata Tajuk Rencana Kompas (5/9/2023); tanpa terobosan penanganan karhutla, hasilnya tak akan efektif. Apapun caranya (biar para ahli yang memikirkannya), perlu cara-cara pencegahan dan penanggulan karhutla yang baru agar dapat secara efektif menangani karhutla yang menjadi momok belum tuntas di Indonesia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya