Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Implementasi UU TPKS Masih Belum Maksimal, Kapasitas Aparat Perlu Ditingkatkan

Kompas.com - 12/09/2023, 10:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Implementasi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih dirasa kurang maksimal.

Sejumlah personel aparat penegak hukum (APH) dinilai masih belum menggunakan UU tersebut untuk beberapa kasus perkosaan dan pencabulan.

Hal tersebut disampaikan Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat Nirwana dalam Rapat Koordinasi Antar Lembaga dan Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Wilayah II.

Baca juga: Perjuangan Putus Rantai Kekerasan Anak di Kabupaten Sambas

Nirwana menyampaikan, sosialisasi dan peningkatan kapasitas APH perlu ditingkatkan agar implementasi UU TPKS bisa meningkat.

“Dilihat dari beberapa kasus baik perkosaan dan pencabulan, terkadang APH masih belum menggunakan UU TPKS,” kata Nirwana dilansir dari keterangan tertulis yang disiarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kamis (7/9/2023).

“Jadi kami berharap dengan adanya kegiatan rapat koordinasi ini bisa terbentuk persepsi bersama untuk menggunakan undang-undang lex specialis dalam memberikan hak dan perlindungan terhadap korban,” sambungnya.

Sementara itu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati menuturkan, UU TPKS merupakan peraturan yang bersifat lex specialis diharapkan bisa menjadi menyelesaikan kasus kekerasan di Indonesia.

Baca juga: Aparat Penegak Hukum Harus Ramah saat Tangani Korban Kekerasan

Dia mendorong APH mengawal kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan putusan yang berperspektif perempuan dan anak dengan UU TPKS.

“Dalam UU TPKS telah diatur pencegahan, penanganan, pemulihan, dan penegakan hukum yang dilaksanakan secara terintegrasi dan komprehensif,” ujar Ratna.

Ratna menyampaikan, Kementerian PPPA sudah menyelenggarakan pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan melalui Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA 129).

Untuk memastikan terselenggaranya pelayanan terpadu tersebut, peran APH menjadi penting agar kasus dapat ditindaklanjuti secara hukum dan keadilan bisa ditegakan.

“Dalam menindaklanjuti aduan kasus kekerasan tersebut, sinergi dan koordinasi penanganan tindak pidana kekerasan seksual menjadi penting,” paparnya.

Baca juga: Dari Tapal Batas Negeri, Masyarakat Dayak Berjuang Lindungi Anak Lewat Peraturan Adat

Menurutnya, kasus kekerasan yang dilaporkan harus diberikan pelayanan dalam waktu satu kali 24 jam.

“Sehingga tidak ada lagi penundaan dalam menangani kasus kekerasan yang bisa menyebabkan korban takut untuk melapor,” jelas Ratna.

Kementerian PPPA terus mendorong peraturan turunan UU TPKS untuk segera disahkan sehingga bisa menjadi acuan bagi penegakan hukum kasus kekerasan seksual.

Sementara itu, Komisaris Besar Polisi Arya Perdana berujar, U TPKS menjadi payung hukum yang komprehensif bagi APH dalam memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat.

UU tersebut juga menjadi dasar untuk memberikan perlindungan bagi korban, menghindari reviktimisasi, dan mengatur restitusi.

Baca juga: Penyintas Kekerasan Seksual Harus Dapat Pendampingan dan Perlindungan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau