KOMPAS.com - Denmark secara resmi meluncurkan kapal kontainer ramah lingkungan pertama di dunia, pada Jumat (14/9/2023) yang dihadiri oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
Laura Maersk akan menjadi kapal kontainer pertama yang seluruhnya menggunakan metanol ramah lingkungan.
"Laura Maersk" disematkan karena nama tersebut berakar kuat pada beberapa pencapaian awal perusahaan, yakni ketika Kapten Peter Maersk Moller membeli kapal uap pertamanya pada tahun 1886, dan menamainya “Laura”.
Dengan mesin uapnya, “Laura” merupakan produk revolusi industri kedua, yang memberikan dampak signifikan terhadap industri pelayaran.
Baca juga: Signify Hidupkan Aek Natolu dengan Lampu Tenaga Surya Ramah Lingkungan
Penggunaan metanol hijau pada Laura MAersk dianggap merupakan tonggak sejarah yang menjanjikan bagi industri pelayaran internasional, yang menghasilkan sekitar tiga persen emisi gas rumah kaca dan berharap mencapai nol emisi pada tahun 2050.
Menurut Ursula, Laura Maersk merupakan perwujudan keputusan Eropa untuk memelopori perjuangan melawan perubahan iklim.
“Ketika saya menjabat beberapa tahun lalu, gagasan sektor pelayaran net zero bukanlah apa-apa. tapi sebuah mimpi,” katanya memuji Maersk karena memanfaatkan peluang yang diberikan oleh Kesepakatan Hijau Eropa dan faktor-faktor lainnya.
Kapal berwarna biru langit sepanjang 172 meter ini adalah yang pertama dari 25 kapal bertenaga metanol yang dipesan oleh Maersk dan akan berlayar pada tahun 2030.
Kapal ini diklaim dapat menghemat 2,75 juta ton CO2 per tahun, menyusul puncak penggunaan tenaga surya di Denmark.
Adapun rute pelayaran perdana Laura Maersk dimulai di Korea Selatan, tempat kapal itu dibangun, menuju Denmark pada bulan Juli 2023 lalu.
Baca juga: Indonesia-Korsel Sepakat Mendukung Investasi Ramah Lingkungan
Maersk mengatakan, kapal raksasa ini akan berada di kawasan Toldboden di pelabuhan Kopenhagen selama seminggu lagi, dan akan memberikan pengalaman operasional nyata bagi para pelaut dan perusahaan yang menangani mesin baru yang menggunakan metanol hijau sebagai bahan bakar.
“Keberhasilan melakukan dekarbonisasi pelayaran, kami tidak hanya mempromosikan perjuangan kami melawan perubahan iklim, juga menciptakan rantai pasokan baru, industri baru, dan ribuan lapangan kerja baru yang baik,” kata Ursula.
Metanol sendiri merupakan cairan tidak berwarna yang dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar mesin. Bahan ini dinyatakan hijau jika dibuat dari sumber rendah karbon seperti hidrogen atau biomassa.
Menurut Methanol Institute, dibandingkan dengan bahan bakar konvensional seperti bensin atau solar, metanol hijau dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 60-95 persen.
Kandungan sulfurnya juga lebih rendah, sehingga mengurangi emisi oksida sulfur yang berkontribusi terhadap polusi udara dan hujan asam.
Metanol hijau dengan cepat mendapat peringkat sebagai solusi energi ramah lingkungan. Kendati demikian, ini dianggap bukan alternatif yang sempurna.
Baca juga: Energi Ramah Lingkungan Pengaruhi Keberlanjutan Bisnis Jangka Panjang
Terlepas dari manfaatnya bagi lingkungan, Forum Ekonomi Dunia (WEF) mencatat bahwa pemanfaatan metanol hijau masih terkendala biaya, karena harga produksinya masih lebih mahal dibandingkan metanol yang dihasilkan bahan bakar fosil.
Selain itu, ada juga kekhawatiran mengenai keamanannya, karena metanol bersifat beracun, mudah terbakar, dan berpotensi meledak. Ini artinya metanol harus disimpan dan ditangani dengan hati-hati.
Potensi pasar
Produksi metanol ramah lingkungan pun masih rendah, alias kurang dari 0,2 juta ton setiap tahunnya, dibandingkan 98 juta ton metanol konvensional yang terbuat dari bahan bakar fosil.
Namun, menurut angka dari Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), pasar metanol hijau terus berkembang, seiring dengan semakin banyaknya negara dan industri yang menyadari potensinya.
Baca juga: Ini Kriteria Bandara Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan
Selain investasi sektor maritim pada bahan bakar ramah lingkungan, China juga mulai menggunakannya pada bus dan kendaraan berat.
Maersk dan kelompok industri Denmark yang lebih luas, AP Moller, juga menggandakan penggunaan metanol hijau. Mereka telah membentuk perusahaan baru, C2X, untuk memproduksi metanol bersih dan menargetkan produksi tahunan lebih dari tiga juta ton pada tahun 2030.
Proyek metanol hijau berskala besar, termasuk di pelabuhan Huelva Spanyol dan dekat Terusan Suez di Mesir, akan membantu mencapai tujuan ini.
Ursula juga menyoroti peran hidrogen ramah lingkungan dalam transisi energi Eropa. Pada tahun 2030 Uni Eropa memiliki ambisi untuk memproduksi dan mengimpor 20 juta ton hidrogen terbarukan setiap tahun.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya