Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 22 September 2023, 16:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Lebih dari 100 anak muda adat Papua berkumpul di hutan desa milik masyarakat adat Knasaimos di Kampung Manggroholo-Sira, Distrik Saifi, Sorong Selatan, Papua Barat Daya.

Di hutan desa pertama di Papua ini, mereka mengikuti kegiatan kemah anak muda adat bernama Forest Defender Camp yang diselenggarakan Greenpeace Indonesia berkolaborasi dengan Sadir Wet Yifi dan Bentara Papua pada 20-22 September 2023.

Ketua Sadir Wet Yifi Frengky Sremere mengatakan, acara tersebut digelar agar anak-anak muda adat di Papua data menjadi ujung tombak menjawab permasalahan lingkungan.

Baca juga: Aminef dan Freeport Indonesia Beri Beasiswa 2 Juta Dollar AS untuk Pelajar Papua

"Terutama mendorong pengakuan pemerintah terhadap kami punya wilayah adat dan hak-hak kami sebagai masyarakat adat," kata Frengky dalam keterangan tertulis dari Greenpeace Indonesia.

Mayoritas peserta berasal dari Sorong Raya seperti Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Maybrat, Tambraw, dan Raja Ampat.

Ada juga perwakilan anak muda adat dari Pegunungan Arfak, Manokwari, Boven Digoel, Bintuni, Jayapura, hingga Merauke.

Sebagian dari mereka datang dari komunitas masyarakat adat yang terdampak ekspansi industri ekstraktif ke Tanah Papua.

Selama tiga hari, peserta Forest Defender Camp mengikuti berbagai kegiatan seperti diskusi, lokakarya, hingga belajar melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat.

Baca juga: Daftar Taman Nasional di Papua

Mereka bermalam di dalam hutan desa milik masyarakat adat Knasaimos, di rumah-rumah pondok yang dibangun dari kayu dan beratap anyaman daun sagu.

Para ibu-ibu atau mama dari Kampung Manggroholo-Sira memasak serta menjamu para peserta dengan pangan lokal seperti sagu bakar, papeda, keladi, betatas, ubi, dan sebagainya.

Dalam berbagai kesempatan diskusi, para peserta membagikan kisah tentang masalah yang dihadapi masyarakat adat, baik di komunitas mereka sendiri maupun komunitas masyarakat adat lain.

Usai kegiatan, mereka akan bersama-sama menyerukan penyelamatan hutan dan pengakuan masyarakat adat kepada pemerintah.

Greenpeace Indonesia melaporkan, Papua memiliki hutan hujan terbesar yang masih tersisa di Indonesia dan dihuni oleh ribuan flora dan fauna.

Baca juga: Survei WVI: Baru 36,1 Persen Anak Kelas 3 SD Papua Punya Keterampilan Literasi

Banyak di antara flora dan fauna tersebut endemik dan beberapa di antaranya masih baru bagi ilmu pengetahuan.

Selain surga keanekaragaman hayati, Papua juga menjadi rumah bagi lebih dari 271 suku masyarakat adat yang hidup tersebar dari pesisir hingga pedalaman hutan belantara Papua.

Kelestarian hutan Papua berperan penting menjaga laju kenaikan suhu Bumi tetap di bawah 1,5 derajat celsius.

Akan tetapi, Greenpeace Indonesia menyebutkan, hutan di Papua makin tergerus oleh investasi perkebunan, pertambangan, dan pembalakan hutan secara ilegal.

Laporan Greenpeace Internasional berjudul "Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua" mencatat, sepanjang 2000-2019, hampir 1 juta hektare kawasan hutan dilepaskan untuk perkebunan.

Baca juga: Didukung MIND ID PTFI, Sekolah Asrama Taruna Papua Luluskan Ratusan Siswa Jenjang SD dan SMP

Kepala Kampanye Global Hutan Indonesia untuk Greenpeace Indonesia Kiki Taufik menuturkan, Papua adalah salah satu surga dunia yang tersisa.

Dia menambahkan, lebih dari 75 persen sumber daya alam di Indonesia dikuasai oleh satu persen kelompok orang-orang kaya yang memiliki kekuatan untuk memengaruhi pengambil kebijakan negara demi kepentingan kelompok mereka.

"Kekuatan orang muda dibutuhkan untuk menjaga Tanah Papua agar generasi mendatang tidak mengalami kutukan sumber daya alam," kata Kiki Taufik.

Greenpeace Indonesia mendesak Pemerintah Indonesia harus segera mengakui hutan dan wilayah adat Papua demi menyelamatkannya dari ancaman kerusakan yang lebih parah.

Penyelamatan hutan Papua akan menunjukkan komitmen dan keseriusan pemerintah Indonesia di tingkat global dalam menghadapi ancaman krisis iklim.

Baca juga: Penanganan Kemiskinan di Papua Tak Bisa Berpandangan Jawa-sentris

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau