KOMPAS.com – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, penanganan kemiskinan di Papua tidak bisa memakai kebijakan berpandangan Jawa-sentris.
Muhadjir mengakui bahwa sampai saat ini masih ada banyak pejabat pembuat kebijakan yang menggunakan kacamata helikopter.
“Jadi lihat dari jauh-jauh dan kemudian melihat membandingkan karena dia sudah biasa di Jakarta ya, sangat Jakarta-sentris atau Jawa-sentris,” ujar Muhadjir di Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (13/9/2023).
Baca juga: Memberdayakan Perempuan, Memutus Rantai Kerja Ilegal dan Kemiskinan
Dia mencontohkan, pemberian bantuan sosial bagi masyarakat Papua kerap kali disamaratakan dengan penanganan di Pulau Jawa. Padahal, secara nilai tentu berbeda.
Menurutnya, menangani 1.000 orang miskin di Papua lebih sulit ketimbang menangani 10.000 orang miskin di Jakarta.
Biaya untuk pengangkutan logistik berkali lipat lebih mahal karena keterbatasan akses. Bahkan, harga beras di Papua bisa mencapai sekitar Rp 60.000 per kilogram (kg).
Berkaca dari hal tersebut, jika bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat Papua sama dengan Jawa, maka hasilnya tidak akan maksimal.
Baca juga: Perguruan Tinggi Jadi Mesin Akademis Bantu Pengentasan Kemiskinan Indonesia
“Dan itu yang terjadi sekarang ini, salah satunya kenapa di sana (kemiskinan) enggak turun-turun itu karena dianggap sama aja menangani orang miskin di sini di sana dengan di sini (Jakarta),” ucap Muhadjir, sebagaimana dilansir Antara.
Muhadjir bercerita, saat dia meninjau kasus kelaparan di Distrik Agandugume, Papua Tengah, logistik hanya bisa dibawa menggunakan pesawat perintis yang hanya mampu mengangkut bantuan sebanyak 900 kg.
Tak hanya itu, untuk sekali terbang membutuhkan biaya penyewaan hingga Rp 35 juta dengan total penumpang hanya sembilan orang.
Demikian pula saat akan membangun sekolah, anggaran Rp 10 miliar tidak akan cukup untuk membangun sarana pendidikan di Papua.
Baca juga: Bappenas Ungkap 3 Strategi Capai Nol Kemiskinan Ekstrem 2024
”Karena untuk membangun sekolah di Jawa Tengah itu Rp 3 miliar sudah jadi sekolah. Tapi kalau di Papua, Rp 10 miliar belum tentu jadi sekolah. Kenapa? Karena wilayahnya sangat jauh,” ungkapnya.
Berdasarkan berbagai hal tersebut, menurutnya pembangunan di wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T) pendekatannya tidak bisa sama dengan Jawa.
Ia meyakini memindahkan Ibukota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi salah satu cara untuk mengatasi persoalan pemerataan tersebut.
”Jadi Indonesia ini terlalu luas kalau hanya dilihat dengan menggunakan kacamata Jakarta karena itulah kenapa Pak Presiden terobsesi untuk memindah Jakarta ke tempat lain yang sekarang di IKN itu,” paparnya.
Baca juga: Kemiskinan Ekstrem Terkonsentrasi di Indonesia Timur
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya