TAJUK Rencana Kompas, Selasa (10/9/2023), mengangkat tema menarik berjudul “Ekosistem Air Telah Lama Bermasalah”.
Inti yang dibahas dalam tulisan tersebut adalah adanya pembiaran ekosistem yang sudah rusak dan berlangsung cukup lama.
Daerah tangkapan air (DTA) berubah fungsi menjadi permukiman dan sebagian dikuasai oleh perusahaan/korporasi untuk menjalankan bisnis mereka.
Desakan kebutuhan atas permukiman karena jumlah penduduk dan berbagai kebutuhannya telah mengalahkan keharusan untuk melindungi daerah tangkapan air yang lebih berguna bagi masa depan manusia.
Kebutuhan hidup sesaat mengalahkan kepentingan manusia untuk mewariskan secara lestari bumi ke anak cucu mereka pada masa mendatang.
Kita sejak lama melihat dampak masalah di atas, seperti fenomena bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor di berbagai tempat, sedimentasi di berbagai waduk dan aliran sungai, dan juga kekeringan di mana-mana.
Hanya saja kejadian yang terus berulang terjadi setiap tahun, tidak dan belum menumbuhkan kesadaran baru untuk menghentikan alih fungsi lahan.
Permukiman tetap saja tumbuh tanpa kompromi di area-area tangkapan air yang sebenarnya dilarang untuk penggunaan lain selain tutupan hutan (forest coverage), apalagi untuk permukiman.
Kerusakan ekosistem air diperparah pembuangan limbah di aliran air sungai dan juga pemanfaatan air yang tidak terkendali.
Pada masa depan, air akan makin sulit didapat dan makin mahal. Peringatan akan adanya krisis iklim, krisis air, dan krisis pangan nampak bukan isapan jempol belaka, karena terjadi pada depan mata kita sekarang ini.
Bagaimana seharusnya kita mengendalikan ekosistem air tawar yang dibutuhkan oleh kehidupan manusia di bumi ini?
Air tawar merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang tersedia hanya 2,5 persen. Sisanya 97,5 persen adalah air laut yang tidak bisa dikonsumsi manusia. Ini manandakan air tawar makin lama makin langka dan harus dikelola dengan baik.
Namun air hujan yang seharusnya menjadi berkah, malah menjadi bencana karena salah kelola dalam menjaga kelestarian lingkungan, khususnya kawasan hutan yang berada di daerah hulu.
Secara alami, air tawar yang jumlahnya 2,5 persen total air yang ada di planet ini berasal dari air hujan, yang masuk ke permukaan, masuk ke dalam tanah, atau mengalir melalui sungai. Proses alam menguapkan kembali air itu menjadi air hujan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya