KOMPAS.com – Meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) dapat memperburuk perubahan iklim dan akhirnya memicu krisis air.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, krisis air saat ini menjadi ancaman nyata dan harus jadi perhatian seluruh negara.
“Salah satu penyebab utama krisis air adalah terus meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada peningkatan laju kenaikan suhu udara,” kata Dwikorita, sebagaimana dilansir Antara, Jumat (13/10/2023).
Baca juga: Empat Isu Air Penting Dibahas pada WWF 2024
Hal tersebut disampaikan Dwikorita dalam 2nd Stakeholders Consultation Meeting The 10th World Water Forum (WWF) atau Forum Air Dunia yang diselenggarakan di Bali.
Kenaikan emisi GRK dapat meningkatkan suhu udara mengakibatkan proses pemanasan global terus meningkat dan memperparah perubahan iklim.
Selain memicu krisis air, hal tersebut dapat memicu krisis pangan dan bahkan krisis energi.
Perubahan iklim juga mengakibatkan meningkatnya frekuensi, intensitas, dan durasi, kejadian bencana hidrometeorologi.
Dia menyampaikan, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada 2022 melaporkan bahwa Bumi jauh lebih hangat 1,15 derajat celsius jika dibandingkan dengan rata-rata suhu pada masa pra-industri.
Baca juga: Smart Pumping, Upaya Konservasi Sumber Daya Air dalam Pemenuhan Standar Industri Hijau
“Saat ini, dalam penilaian awal menunjukkan bahwa tahun 2023 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah,” papar Dwikorita.
Menurut Dwikorita, dampak dari variabilitas dan perubahan iklim sering kali dirasakan melalui air.
Dinamika siklus air dan interaksinya dengan manusia menghasilkan pola ketersediaan sumber daya air yang bervariasi secara spasial dan temporal.
Selain itu, lanjutnya, dampak ekstrem terkait air sangat memengaruhi kehidupan, perkembangan, keberlanjutan ekosistem, serta kehidupan masyarakat atau individu.
Selain perubahan iklim, kata dia, tantangan lain yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan air adalah ekstraksi air tanah yang menyebabkan penurunan muka air tanah.
Baca juga: Petrokimia Gresik Dukung Pengembangan Energi Bersih Tanah Air
Menurut Dwikorita, musim kemarau yang berkepanjangan, tidak meratanya aksesibilitas serta distribusi air bersih, dan infrastruktur untuk pengelolaan sumber daya air juga menjadi tantangan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan terhadap ketersediaan air.
Jika hal ini terus dibiarkan, krisis air juga akan berujung pada krisis pangan, krisis energi, bahkan krisis sosial.
“Semakin menipisnya sumber daya alam, termasuk air juga disebabkan oleh jumlah populasi penduduk dunia yang terus bertambah," tuturnya.
Dia meminta semua negara harus melakukan aksi mitigasi dan adaptasi secara sistematis dan kolaboratif, serta merumuskan kebijakan konservasi dan pengelolaan sumber daya air secara efisien berbasis ilmu pengetahuan.
“Ini penting untuk segera dilakukan karena air adalah salah satu kebutuhan dasar hidup manusia,” ujar Dwikorita.
Baca juga: Pemerintah Perlu Galakkan Gerakan Hemat Air untuk Tangani Krisis
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya