DUNIA baru saja merayakan Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober lalu, mengusung tema "Water is Life, Water is Food. Leave No One Behind”. Ini merupakan pengakuan untuk kesekian kalinya bahwa air sebagai dasar kehidupan dan sumber ketahanan pangan kita.
Tema tersebut merupakan salah satu bentuk manifestasi pernyataan Ismail Serageldin (1995), seorang pakar lingkungan senior Bank Dunia, yang mengatakan, "Many of the wars of this century were about oil, but those of the next century will be over water".
Ini menggarisbawahi betapa pentingnya sumber daya air dalam konteks keamanan global dan ketahanan pangan.
Air sebagai sumber daya yang mungkin menjadi penyebab konflik masa depan, menggantikan minyak sebagai sumber ketegangan antarnegara.
Sama halnya seperti energi, air adalah input vital bagi perekonomian ekonomi. Ketersediaan dan kualitas air dapat berbeda dari satu negara ke negara lain, menjadikan masalah air bersifat lokal/domestik.
Namun, karena kita mengandalkan perdagangan internasional untuk memenuhi kebutuhan populasi global, air juga menjadi sumber daya yang bersifat global dan kolektif.
Hal ini terkait dengan ketergantungan global kita pada perdagangan internasional, di mana keterbatasan air di satu wilayah dapat memengaruhi rantai pasokan global termasuk perdagangan produk pertanian dan industri.
Pengelolaan sumber daya air harus mempertimbangkan baik aspek lokal maupun global untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dan ketergantungan global pada sumber daya air.
Oleh sebab itu, kesadaran akan sifat global air sebagai sumber daya yang kian genting menjadi sangat penting dalam mengatasi ketidakseimbangan antara melonjaknya kebutuhan pangan dan kian terbatasnya kapasitas air di berbagai belahan dunia.
Kita bisa bayangkan, kopi yang kita seduh cukup dengan secangkir air panas, nyatanya membutuhkan total air 35-140 liter.
Menurut Survei Kementerian Pekerjaan Umum, jumlah ini hampir setara dengan rata-rata konsumsi air baku (nyata) per kapita harian kita, sebesar 144 liter per orang per hari.
Bahkan komoditas pangan penting (makanan pokok) pun memiliki jejak air yang cukup besar. Jejak air beras sebesar 3.473 meter kubik per ton, jagung sebesar 2.483 meter kubik per ton, dan kedelai sebesar 1.958 meter kubik per ton.
Bahkan, setangkai mawar merah yang sering kita persembahkan untuk orang-orang terkasih memiliki jejak air (water footprint) antara 7 hingga 13 liter air tergantung pada hasil panen dan beratnya.
Intinya, semua produk pangan tersebut memiliki jejak air yang "tersembunyi" dalam proses produksinya.
Tony Allan (1990) menyebutnya dengan istilah air virtual (virtual water) yang pertama kali diperkenalkannya pada pertemuan internasional di Delft, Belanda pada Desember 2002.
Menurut dia, ketika suatu negara terlibat dalam perdagangan produk pertanian, secara tidak langsung juga terlibat dalam perdagangan air virtual yang tertanam dalam produksi komoditas tersebut.
Meskipun perdagangan air virtual mengikuti teori perdagangan internasional di mana produk pangan diproduksi di wilayah dengan sumber daya yang cukup, konsep ini pada dasarnya bukan sesuatu yang buruk dan merupakan praktik yang wajar.
Masalahnya, kelangkaan air mengharuskan kita mempertimbangkan nilai air yang kita ekspor dan impor.
Masih tingginya jejak air yang digunakan dalam produksi beberapa komoditas pertanian di Indonesia juga merupakan permasalahan yang memerlukan perhatian serius.
Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya air, diperlukan upaya perbaikan dalam teknologi dan teknik bercocok tanam.
Fakta bahwa sekitar 90 persen air virtual digunakan dalam proses produksi pertanian seharusnya memungkinkan Indonesia untuk menjadi eksportir produk-produk pertanian.
Sayangnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia masih “nyaman” menjadi negara pengimpor bahan pangan seperti kedelai, beras, kacang tanah, kacang hijau jagung, dan ubi jalar.
Pada 2022, jumlah impor gandum dan meslin menempati peringkat teratas, diikuti impor gula dan keledai. Dalam tiga tahun terakhir, volume impor bahan makanan dan minuman cenderung meningkat.
Meskipun dinilai penting, pengelolaan air virtual untuk memperpendek rekam jejak air belum menjadi prioritas perbaikan tata kelola air dalam RPJPN 2025-2045.
Proses perencanaan masih terpaku pada ketersediaan air baku secara umum. Ini tentu sangat riskan mengingat penggunaan air dalam sektor pangan sering tumpang tindih dengan kebutuhan vital sektor lainnya.
Sebagai contoh, penggunaan air untuk mendinginkan pusat-pusat data perusahaan teknologi dapat mengurangi ketersediaan air untuk produksi komoditas pangan primer.
Meskipun pendekatan penggunaan pendinginan cairan dalam pusat data dianggap lebih efisien dalam mentransfer panas dan mengurangi biaya energi listrik, hal ini juga berarti peningkatan konsumsi air.
Pusat data, terutama yang dimiliki oleh perusahaan teknologi raksasa seperti Meta atau Google, intens meningkatkan konsumsi air mereka, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pasokan air komunal (The Oregonian, 2022).
Dampaknya, muncul konflik kepentingan antara pengguna air lokal dan perusahaan pusat data yang beroperasi dalam skala besar.
Ini menggambarkan perluasan tantangan dalam manajemen air, di mana berbagai sektor bersaing untuk akses ke sumber daya air yang terbatas.
Tentunya ini mendorong kita untuk melampaui pendekatan antroposentris yang hanya fokus pada penggunaan sipil dan domestik, untuk melibatkan pendekatan ekosentris yang mempertimbangkan bagaimana cara menjamin keberlanjutan konsumsi air untuk semua sektor produksi dalam konteks yang lebih luas dari keseimbangan ekosistem.
Maka, sudah saatnya untuk mempertimbangkan metode penentuan harga akhir produk pangan dengan memasukkan nilai air sebagai komponen penentu harga penjualan atau harga ekspor, yang dikenal sebagai premi keberlanjutan air (water sustainability premium).
Premi keberlanjutan merujuk pada biaya tambahan yang dikenakan pada produk atau layanan untuk mencerminkan nilai air yang digunakan dalam proses produksinya (Hoekstra, 2012).
Premium ini dapat diterapkan pada tahap distribusi produk tanpa memberatkan petani. Pendapatan yang dihasilkan dari penjualan atau ekspor produk tersebut dapat digunakan untuk mendukung upaya pengisian kembali akuifer (lapisan geologis yang mengandung air tanah untuk pasokan air sumur atau mata air) dan pelestarian air secara keseluruhan.
Tujuannya adalah mendorong penggunaan air lebih efisien dan berkelanjutan, serta melindungi kita dari potensi krisis air pada masa depan. Terdapat beberapa metode pendekatan premi berkelanjutan pengelolaan air untuk pangan.
Pertama, pemerintah dapat menetapkan pajak pada ekspor produk yang menggunakan banyak air virtual.
Dengan kata lain, produk pangan dengan jejak air yang panjang bisa dikenakan pajak atau tarif yang lebih tinggi untuk menekan ketergantungan pangan padat air dan sekaligus mendorong efisiensi penggunaan air.
Kedua, pemerintah juga dapat memberikan insentif atau subsidi kepada perusahaan yang menggunakan metode produksi yang lebih hemat air. Ini bertujuan membantu perusahaan mengurangi biaya produksi dan beralih pada teknologi hemat air.
Ketiga, perusahaan dapat secara sukarela mengenakan premi keberlanjutan air pada produk mereka, yang dapat digunakan untuk mendukung upaya konservasi air atau meningkatkan transparansi penggunaan air.
Namun, selama ini transparansi pengelolaan air masih sebatas himbauan. Dalam UU No.17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, belum ada kewajiban khusus pelaporan berkala terkait penggunaan air.
Semua pendekatan inovatif tersebut tentu akan mudah terlaksana jika pemerintah aktif mempromosikan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dengan dukungan insentif dan regulasi yang memadai.
Implementasinya bisa mengintegrasikan kebijakan lintas sektor yang kohesif, memastikan kebijakan pertanian dan rencana pembangunan ekonomi sejalan dengan tujuan perlindungan sumber daya air, dan menetapkan batas maksimum yang berkelanjutan untuk konsumsi air dan pencemaran air di daerah aliran sungai dan akuifer.
Tak kalah penting, pemerintah perlu memperluas statistik penggunaan air di luar kerangka konvensional.
Ini termasuk memasukkan penggunaan air untuk produksi produk ekspor, mengidentifikasi jejak air konsumsi, dan mencakup data tentang penggunaan air di luar negeri yang terkait dengan jejak air konsumsi pangan domestik.
Dengan demikian, pemerintah dapat mengumpulkan informasi yang lebih lengkap dan mendalam untuk mendukung pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi, tata kelola yang lebih baik, dan ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya