KOMPAS.com – Sejumlah pihak termasuk ilmuwan iklim memperingatkan potensi taktik greenwashing terselubung energi fosil ke dalam KTT Iklim PBB COP28.
KTT Iklim akbar dari PBB tersebut seduanya digelar pada akhir November mendatang di Uni Emirat Arab (UEA), salah satu eksportir besar minyak bumi dunia.
Ahmed El Droubi dari Climate Action Network mengatakan, kepentingan tuan rumah kemungkinan akan memengaruhi hasil COP28.
Baca juga: Presiden COP28 Serukan Adaptasi Jadi Pembahasan Inti Agenda Iklim
UEA sebelumnya telah menunjuk Sultan Al Jaber sebagai Presiden COP28. Penunjukan tersebut menuai protes dari para aktivis lingkungan hidup.
Protes keras muncul karena Al Jaber menjabat sebagai pimpinan perusahaan minyak milik negara UEA, ADNOC.
Di satu sisi, selain menjabat sebagai Direktur Jenderal dan CEO ADNOC, Jaber juga merupakan utusan iklim UEA.
Jaber juga merupakan salah satu pendiri perusahaan energi terbarukan milik negara UEA, Masdar.
Kekhawatiran masuknya kepentingan dari entitas energi fosil yang menyusup ke dalan KTT iklim COP28 juga berasalan.
Baca juga: Puluhan Perusahaan Migas Komitmen Pangkas Emisi dalam COP28, Ekspansi Penangkap Karbon?
Pada COP27 tahun lalu di Mesir, jumlah pelobi minyak dan gas melebihi sebagian besar delegasi. Naskah akhir dalam keputusan COP27 memasukkan peningkatan “energi rendah emisi” di menit-menit akhir.
Istilah “energi rendah emisi” yang dimaksud merujuk kepada gas alam, yang mana Mesir telah menginvestasikan miliaran dollar AS dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam KTT COP28 mendatang, para aktivis memperkirakan perjuangan untuk menghapus energi fosil sebagai penyebab utama pemanasan global akan lebih sulit lagi.
Farhana Sultana, profesor geografi dan lingkungan di Syracuse University, mengatakan kepada AFP bahwa industi energi fosil akan menancapkan pengaruhnya dalam KTT iklim akbar tersebut.
“(Industri energi fosil) berniat tidak hanya menunda, menyangkal, mengalihkan aksi iklim yang berarti, namun juga melakukan greenwashing erhadap polusi yang mereka keluarkan,” kata Sultana, sebagaimana dilansir AFP, Kamis (2/11/2023).
Baca juga: Presiden COP28: Dunia Kehilangan Kesempatan Capai Tujuan Perubahan Iklim
Pertaruhan di COP28 disebut menjadi lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Untuk menjaga suhu Bumi tidak naik 1,5 derajat celsius di atas suhu pra-industri, emisi gas rumah kaca harus turun 43 persen pada 2030 dari tingkat tahun 2019, menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Ikli, atau IPCC.
Karim Elgendy, seorang peneliti di Chatham House, menyampaikan bahwa jika manusia tidak segera memangkas emisi, situasinya akan semakin kritis setiap tahunnya.
Sementara itu, menurut Droubi, meskipun Jaber memiliki "konflik kepentingan" yang jelas sebagai bos ADNOC, Jaber sebenarnya telah mengatakan hal paling progresif dari presiden-presiden COP sebelumnya.
Di balik berbagai upaya perlawanan pemanasan global, sejumlah raksasa energi fosil dari berbagai negara termasuk UEA, Arab Saudi, dan Amerika Serikat (AS), malah mengusulkan untuk melanjutkan investasi minyak dan gas sebelum akhirnya terjadi transisi energi.
Usul investasi tersebut disampaikan atas nama stabilitas pasar energi.
Baca juga: COP28 Umumkan Program Tematik
Pada Oktober, Jaber mengatakan, manusia tidak bisa begitu saja meninggalkan energi fosil sebelum membangun sistem baru di masa depan.
Dia pun mendesak para aktivis untuk lebih realistis dan menjauhi fantasi.
Padahal, agar suhu Bumi tidak naik 1,5 derajat celsius, Badan Energi Internasional atau IEA telah menyerukan diakhirinya investasi baru pada batu bara, minyak, dan gas alam.
Menurut Elgendy, perhatian lebih besar harus diberikan pada solusi-solusi penting, termasuk memotong subsidi minyak dan gas.
Menurut Dana Moneter Internasional atau IMF, subsidi yang digelontorkan untuk minyak dan gas di seluruh dunia totalnya mencapai 7 triliun dollar AS pada 2022 alias 7 persen dari PDB global.
Baca juga: COP28 dan UNFCCC Tanda Tangani Perjanjian Tuan Rumah
Tuan rumah COP28, UEA, mengaku telah lama melakukan diversifikasi perekonomiannya dan menyampaikan bahwa saat ini 70 persen PDB-nya berasal dari sektor non-minyak.
Negara di Teluk Arab ini juga telah menjanjikan investasi energi terbarukan sebesar puluhan milliar dollar AS.
“Tetapi bagi mereka, hal itu berarti memperluas ke arah energi terbarukan, bukan membatasi bahan bakar fosil,” menurut Droubi.
Pada COP28, banyak negara termasuk UE, akan mendebat komitmen mengenai peralihan dari bahan bakar fosil.
Negara-negara Teluk mengatakan bahwa akan selalu ada kebutuhan akan minyak.
Elgendy menuturkan, karena perusahaan di Teluk Arab mengaku sebagai yang “termurah dan terbersih” di dunia, maka mereka harus menjadi “produsen terakhir yang bertahan”.
Di sisi lain, lanjut Elgendy, mereka juga mengadopsi apa yang disebutnya sebagai pendekatan iklim yang “tidak lazim”.
“Di mana kuncinya bukanlah mengurangi karbon, namun mengelola karbon. Menggunakannya kembali dan mendaur ulangnya dan pada akhirnya kami akan menyimpannya di bawah tanah,” tuturnya.
Baca juga: Presiden-Tertunjuk COP28 Desak Negara G20 Tunjukkan Solidaritas terhadap Aksi Iklim
Bukannya langsung berkomitmen mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, sejumlah perusahaan minyak raksasa menggembar-gemborkan teknologi yang sebelumnya terpinggirkan sebagai solusi yang menjanjikan untuk mengurangi emisi.
Tekonolgi yang mereka usulkan tersebut tak lain dan tak bukan adalah penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS).
CCS diterapkan untuk mencegah pelepasan emisi karbon dengan menyedot gas buang dari pembangkit listrik. Selain itu, ada CCS yang berfungsi menangkap emisi karbon langsung dari udara.
Emisi karbon yang ditangkap akan disimpan di dalam perut Bumi.
Kedua teknologi tersebut sebenarnya terbukti berhasil, namun masih jauh dari kematangan dan skalabilitas komersial.
Baca juga: Menuju COP28, Menanti KTT Iklim yang Ambisius
Perusahaan-perusahaan minyak dan gas juga getol mengampanyekan skema perdagangan kredit karbon.
Skema ini telah lama dikritik oleh aktivis lingkungan karena transparansi yang buruk, praktik licik, dan konflik kepentingan yang tertanam di dalamnya.
Menurut Elgendy, solusi-solusi yang diserukan perusahaan energi fosil tersebut membutuhkan waktu beberapa tahun agar bisa berjalan. Akan tetapi, manusia tidak punya banyak waktu lagi.
Pada September, Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa dunia harus segera meninggalkan energi fosil.
“Kita harus mengganti waktu yang terbuang dengan menyeret kaki, memutarbalikkan tangan, dan keserakahan dari kepentingan yang sudah mengakar dan meraup miliaran dollar AS dari bahan bakar fosil,” kata Guterres.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya