Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Penguasaan, Kewenangan, dan Pengawasan Kehutanan

Kompas.com - 21/11/2023, 11:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia pada 18 September 2023, calon presiden PDI Perjuangan Ganjar Pranowo mendapatkan pertanyaan menarik dari Dosen UI Suraya Afiff.

Suraya bertanya soal pokok dan penting dalam penguasaan lahan oleh negara yang acap menjadi sumber konflik agraria.

Suraya, tentu saja, mengutip pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Hak menguasai oleh negara inilah yang jadi problem selama Indonesia merdeka, seperti pertanyaan Suraya Afiff.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat ada sekitar 25.863 desa di dalam dan di sekitar hutan yang terdiri dari 9,2 juta rumah tangga.

Walhi, LSM lingkungan, mencatat 94,8 persen lahan di Indonesia dikuasai oleh perusahaan atau korporasi. Inilah yang menimbulkan ketimpangan ekonomi.

Di mana hak menguasai oleh negara? Rupanya hak itu didelegasikan kepada korporasi. Masalahnya, delegasi hak itu timpang kepada masyarakat yang justru lebih dulu tinggal di konsesi yang dikemudian diberikan hak pengelolaannya kepada industri.

Di sinilah, pertanyaan Suraya Afiff penting: pasal 33 itu jadi sumber masalah konflik lahan.

Penguasaan lahan di Indonesia pada awal Orde Baru selain menginduk ke UUD 1945 Pasal 33, juga Undang-Undang 5/1960 tentang peraturan dasar pokok agraria dan UU 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan.

Kedua UU ini mempunyai kedudukan dan posisi yang sejajar dengan tugas yang sama, yakni sama-sama mengatur dan mengurusi lahan, tetapi kewenangannya berbeda.

UU 5/1960 mengatur dan mengurusi lahan di luar kawasan hutan, sedangkan UU 5/1967 mengatur dan mengurusi lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan.

UU 5/1967 diubah menjadi UU 41/1999 tentang kehutanan, sedangkan UU 5/1960 tetap berlaku hingga saat ini.

Sejak UU 5/1967 terbit, luas hutan alam tropika basah yang dimiliki Indonesia secara hukum (de jure) 122 juta hektare atau lebih dari 60 persen dari luas total daratan Indonesia.

Masyarakat adat di areal yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan diakui keberadaannya dalam UU ini, namun regulasi di bawahnya tidak jelas dalam memperlakukannya. Ini juga jadi sumber konflik agraria.

Dalam penjelasan Pasal 17 UU Kehutanan ini disebut bahwa “Selain hukum perundang-undangan, di beberapa tempat di Indonesia masih berlaku hukum adat, antara lain tentang pembukaan hutan penggembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan.

Dalam pelaksanaan hukum adat setempat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus dijaga jangan sampai terjadi kerusakan hutan, sehingga mengakibatkan manfaat hutan yang lebih penting di bidang produksi dan fungsi lindung daripada hutan akan berkurang adanya.

Demikian pula hak ulayat sepanjang menurut kenyataannya masih diakui, tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-perundangan lain yang lebih tinggi.

Karena itu tidak dapat dibenarkan jika hak ulayat suatu masyarakat hukum adat setempat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum pemerintah, misalnya: menolak dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek besar, atau untuk kepentingan transmigrasi dan lain sebagainya.

Demikian pula tidak dibenarkan, apabila hak ulayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat hukum adat setempat untuk membuka hutan secara sewenang-wenang.”

Dalam UU 41/1999 tentang kehutanan, masyarakat adat disebut dengan rinci dan jelas dalam satu bab, satu pasal (67) dan tiga ayat. Dalam pasal 5 ayat (2) UU tersebut, dinyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat.

Mahkamah Konstitusi pada 2012 menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan negara.

Sayangnya, pasal 67 ayat (2) yang mensyaratkan peraturan daerah dalam pengakuan hutan adat tak turut dibatalkan. Sehingga masyarakat adat yang mengajukan hutan adat mesti mendapatkan pengakuan melalui peraturan daerah, yakni kesepakatan antara eksekutif dan legislatif daerah masih mengalami kesulitan.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau